Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
MUSIM KEMARAU
1
Suka
139
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah desa kecil di Kalimantan Barat, tepatnya di daerah perbukitan yang cukup jauh dari aliran Sungai Kapuas, musim kemarau datang seperti tamu yang terlalu betah—panas, kering, dan bikin semua orang gelisah. Rumput-rumput mulai menguning, sumur-sumur makin dalam harus ditimba, dan ember-ember kosong jadi benda berharga yang terus dikejar-kejar.

Pagi itu, sekitar pukul enam, suara ayam belum sempat selesai berkokok ketika Michel bangun dari kasur tipisnya. Ia menguap lebar, menatap langit-langit yang mulai disinari matahari, lalu menyambar handuk dengan gerakan malas. Hari itu penting. Ada kuis Matematika, dan bu Fitri terkenal sebagai guru paling galak sejagat sekolah.

Michel berjalan ke kamar mandi, mata masih setengah terpejam, tapi langkahnya penuh harapan: mandi, sarapan, sekolah. Namun harapan itu segera musnah.

“MAAAA! AIRNYA GAK ADA!” teriak Michel dari dalam kamar mandi.

Dari dapur, terdengar suara ibunya, bu Ninik, yang sedang memasukkan tempe ke wajan sambil nyanyi lagu dangdut. “Apa? Masa sih? Semalam mama udah nampung air, lho. Setengah bak penuh!”

“Sekarang kosong, Ma! Kering! Gak ada setetes pun! Bahkan nyamuk pun ogah lewat sini!” keluh Michel panik.

Bu Ninik langsung meninggalkan dapur dengan sudip masih di tangan, wajah penuh curiga. “Gak masuk akal. Tadi malam mama rebutan air sama tetangga, sampai harus buka-bukaan ember di gelap-gelapan. Masa ilang sih?”

Saat itu juga, muncul pak Win, bapaknya Michel, dari ruang depan. Ia mengenakan kaus oblong bolong dan membawa cangkir kopi yang tinggal ampas.

“Ada apa ini? Pagi-pagi suara kalian kayak debat calon kepala desa,” ucapnya dengan nada bercanda.

“Pak, air habis!” kata bu Ninik kesal. “Padahal semalam udah mama tampung, lho. Masa ilang kayak maling hati?!”

“Aku gimana, Pak? Mau ke sekolah, masa gak mandi? Nanti disangka makhluk hutan!” rintih Michel.

Pak Win menggaruk kepala yang tak gatal. Senyum kecil mulai muncul. “Ehehe… jadi begini... bapak bangun tadi subuh. Trus... bapak... mandiin si Kiki, Igi, sama Titi.”

Michel dan bu Ninik saling berpandangan. “Siapa lagi itu? Anak siapa?!” tanya bu Ninik curiga.

Pak Win menunjuk ke belakang rumah. Di sana, tiga sangkar bergelantungan rapi: seekor burung kakatua, seekor jalak suren, dan satu ayam kate bernama Titi yang tinggal bareng burung karena merasa dirinya juga bisa terbang.

“BAPAAAAK!” jerit bu Ninik sambil mengangkat sudip. “Air tinggal segitu, malah dipakai spa burung! Mau dikukus tuh ayam?!”

Michel ikut panik. “Aku nih gimana, Pak? Hari ini ada kuis penting. Masa ke sekolah kayak abon bergerak?”

Pak Win langsung jongkok dan memeluk Michel dramatis. “Maafin bapak ya, Dek... burung-burung itu udah mulai pucat. Titi tadi sempat ngeces, loh. Bapak gak tega…”

Bu Ninik melotot, “Titi itu ayam, Pak! Ngecesnya emang begitu!”

Pak Win berdiri dan tepuk tangan. “Oke! Solusi! Kita mandi di pancuran bawah bukit. Airnya masih ada. Nanti bapak juga angkut galon, ember, panci, semua kita isi!”

Pak Win segera bergegas ke belakang rumah mengambil galon kosong, ember, dan jeriken yang biasanya cuma dipakai saat panen rambutan. “Michel, ganti baju! Kita berangkat sebelum yang lain rebutan pancuran!” serunya.

Michel, meski masih manyun, akhirnya menurut juga. Ia masuk ke kamar sambil ngomel pelan. “Burung dimandiin, anaknya enggak… kebalik, kebalik…”

Bu Ninik sudah mengganti daster dengan kaos dan celana panjang, lalu mengambil sabun dan sampo sachet dari toples di atas lemari. “Kalau kehabisan lagi, ya udah, Pak. Kita mandi pakai tisu basah!”

Setelah semua siap, keluarga kecil itu berjalan menuruni jalan setapak yang mengarah ke pancuran kecil di bawah bukit. Jalan tanah itu penuh bebatuan kecil, dengan rerumputan yang kini kering dan menguning.

Di sepanjang jalan, mereka berpapasan dengan beberapa tetangga yang membawa galon juga. Ada yang digendong, ada yang ditarik pakai tali, bahkan ada yang diikatkan di atas kepala—kreativitas warga memang meningkat saat musim kemarau.

“Pagi, Pak Win!” sapa Pak Guru yang lewat dengan motor bebek tua yang di atasnya ditumpuk dua ember biru.

“Wah, sampai motor juga jadi tangki air sekarang,” celetuk bu Ninik.

“Darurat, Bu. Daripada gak bisa nyuci baju, saya nanti disangka pakai seragam bekas perang!” jawab Pak Guru sambil tertawa lebar.

Sesampainya di pancuran yang terbuat dari batang bambu besar, suasana sudah ramai. Beberapa ibu mencuci baju sambil gosip, anak-anak kecil bermain cipratan, dan para bapak menunggu giliran isi galon dengan ekspresi seperti antre minyak goreng.

Pak Win langsung memarkir semua peralatan air mereka, lalu membantu bu Ninik dan Michel cari tempat untuk mandi. Air pancuran itu keluar dari celah batu yang disalurkan lewat pipa bambu alami. Meski alirannya tidak deras, airnya dingin dan segar.

Michel akhirnya berdiri di bawah pancuran, menggigil sebentar, lalu tertawa kecil. “Wah, serasa mandi di air es. Tapi lumayan sih, dibanding disiram air doa aja di rumah…”

Bu Ninik yang di sebelahnya sedang keramas mendengus, “Makanya jangan manja. Ini pengalaman hidup, Dek. Mandi darurat di pancuran. Besok-besok siapa tahu harus mandi di tengah hujan sambil kejar ayam!”

Pak Win sibuk menampung air ke galon. “Iya, kan siapa tahu nanti desa kita jadi terkenal karena inovasi: *Mandi Keluarga Plus Galon Berjalan*.”

Michel terkekeh. “Nama acaranya kayak lomba di tipi, Pak.”

“Ya kan bisa viral,” sahut Pak Win sambil mengangkat galon pertama yang sudah penuh. “Nanti bapak ajukan ke YouTube, kita bikin konten.”

“Judulnya: Hidup Hemat Air Bersama Ayam Kate!” tambah bu Ninik.

Mereka semua tertawa. Suasana kemarau memang bikin kering kerongkongan, tapi dengan canda dan tawa, hati tetap bisa basah.

Setelah semua selesai mandi, galon penuh, dan kaki sudah kedinginan karena kena batu-batu sungai, mereka bersiap pulang. Michel mengenakan seragam dengan rambut masih basah dan kaus kaki nyaris terbalik.

Mereka tertawa lagi sambil berjalan menanjak kembali ke rumah. Sinar matahari mulai menghangat, dan tetesan air masih menetes dari ujung rambut Michel. Meski pagi itu penuh kekacauan dan drama sudip, setidaknya mereka sudah mandi. Dan yang lebih penting, mereka tetap kompak.

Di musim kemarau yang kering ini, satu keluarga bisa tetap tumbuh subur… asal disiram tawa tiap hari.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
MUSIM KEMARAU
Apriliana Michel
Cerpen
Bronze
Rindu
ine dwi syamsudin
Novel
Bronze
Teras Dua Rumah
@vi_soegito
Skrip Film
Cuk (A Story of Virginity)
Astri Apriyani
Flash
GAUN TERINDAH SEPANJANG MASA
Raja Alam Semesta
Cerpen
Bronze
AKU JADI JANDA KARENA JANDA
Hadi Hartono
Cerpen
Bronze
Satu Kursi yang Kosong
Muhamad Irfan
Novel
Teratai di Atas Bukit
Justang Zealotous
Novel
Bronze
DEDARE INGES
K. Z. Asri
Flash
Bronze
SURAT CINTA, 2017
Embun Pagi Hari
Cerpen
Bronze
Nil Desperandum
Chie Kudo
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Novel
Bronze
Selenophile
prima indrasari
Cerpen
Bronze
Tergiur Bunga
Kinanthi (Nanik W)
Cerpen
Bronze
Nak, Ijinkan Aku Bahagia
Munkhayati
Rekomendasi
Flash
MUSIM KEMARAU
Apriliana Michel