Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah menyadari bahwa hidup tak perlu megah untuk menjadi bermakna, aku menemukan ruang lain yang sebelumnya kerap kulewati: diam. Ia bukan sekadar hening atau kosong, tapi tempat di mana jiwa bisa pulang dan mengenali dirinya sendiri tanpa suara-suara luar yang bising.
Dalam diam, aku belajar mendengar. Bukan hanya suara-suara dari luar, tapi gema paling dalam dari batinku sendiri. Suara yang dulu tertutupi oleh ambisi, oleh hasrat untuk diakui, oleh kebutuhan untuk terlihat.
Diam mengajarkanku sesuatu yang bahkan buku dan nasihat tak selalu bisa ajarkan: bagaimana menerima tanpa harus menguasai, bagaimana hadir tanpa harus bicara, bagaimana menjadi tanpa harus membuktikan.
Sederhana seperti kehidupan yang tidak sia-sia, diam juga bukan bentuk kekalahan. Ia adalah bentuk kekuatan yang tak banyak dipahami. Karena hanya jiwa yang tenang yang mampu duduk dalam diam tanpa merasa perlu berlari ke mana-mana.
Dan dari sanalah aku mulai benar-benar berbicara dengan diriku sendiri....tanpa ego, tanpa pembenaran. Hanya aku, dan segala bentuk pertanyaan yang pernah kutunda untuk dijawab.
Di antara keheningan itu, aku menemukan rumah. Bukan bangunan. Bukan tempat. Tapi rasa. Rasa cukup, rasa teduh, rasa paham bahwa hidup yang damai bukan yang selalu terdengar nyaring, tapi yang bisa tetap tenang meski tak banyak terlihat.
Karena mungkin, rumah sejati bukan yang berdiri dari bata dan semen, tapi dari kedewasaan hati yang belajar menerima bahwa tak semua hal harus dikatakan, tak semua luka harus dijelaskan, dan tak semua perjalanan harus dimengerti orang lain.
Kadang, diam adalah bahasa paling jujur dari seseorang yang telah berjalan jauh.