Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah tak lagi terbebani oleh hasrat membuktikan diri, aku mulai bertanya lebih dalam:
Kalau aku tak sedang membuktikan apa-apa… lalu untuk siapa sebenarnya semua ini?
Pertanyaan itu menggiringku pada ruang yang selama ini jarang kusentuh...ruang di dalam diriku sendiri.
Tempat yang dulu terasa asing, bahkan sering kutinggalkan demi mengejar sesuatu di luar sana.
Dan sekarang, dalam sunyi yang tak lagi haus sorotan, aku menemukan jejak-jejak pulang.
Ternyata, menjadi cukup bukan hanya tentang menghentikan perlombaan, tapi juga tentang merawat luka-luka yang selama ini kubiarkan sembunyi.
Tentang menerima sisi rapuhku, bukan untuk disangkal atau dilawan, tapi untuk dipeluk dan dikenali.
Karena tidak ada tempat yang benar-benar bisa kusebut “rumah”, jika aku sendiri tidak pernah menjadi rumah bagi diriku.
Aku mulai belajar duduk dalam hening....bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk benar-benar hadir bersama diriku sendiri.
Belajar mendengar bisikan yang dulu sering kutimpa dengan kebisingan luar.
Bahwa aku pernah kecewa. Pernah takut. Pernah iri. Pernah merasa tidak layak.
Dan itu semua… tidak apa-apa.
Perlahan, aku mengerti bahwa luka bukan musuh. Ia bagian dari jalan pulang.
Bahwa damai bukan berarti semua sempurna, tapi ketika aku tak lagi saling menghindar dengan apa yang ada di dalamku.
Ketika aku bisa menatap cermin, bukan hanya untuk melihat wajah, tapi juga menerima cerita.
Menjadi rumah bagi diri sendiri bukan pencapaian yang selesai dalam sehari.
Ia adalah proses merawat. Mengampuni. Mengulang. Mengingatkan.
Bahwa aku tak harus utuh untuk layak dicintai. Tak harus sempurna untuk dihargai.
Cukup hadir.....dan jujur.
Karena saat aku bisa pulang ke dalam diriku, aku tak lagi terlalu bergantung pada siapa yang datang atau pergi.
Tak lagi mendikte hidup agar selalu sesuai harapan.
Aku bisa tenang, bahkan ketika segalanya tak pasti.
Sebab kini, aku tahu ke mana harus pulang....dan siapa yang selalu ada: diriku sendiri.