Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah tahu ke mana aku ingin pergi, dan apa yang benar-benar ingin kubawa, ada satu hal lain yang pelan-pelan kulepaskan: dorongan untuk membuktikan sesuatu.
Dulu, tanpa sadar, setiap langkahku sering diiringi dengan kalimat samar di kepala:
“Aku harus berhasil.”
“Aku harus terlihat kuat.”
“Aku harus menunjukkan bahwa aku bisa.”
Seolah-olah langkahku tak cukup bermakna kalau tidak ada yang melihatnya. Seolah semua proses harus punya hasil yang bisa dipamerkan. Padahal, tidak semua perjalanan butuh panggung. Tidak semua keberanian harus dilihat orang lain untuk menjadi nyata.
Setelah mengurai beban, aku mulai merasa tenang berjalan tanpa keramaian.
Karena ternyata, kelelahan terbesarku bukan karena jarak, tapi karena beban membuktikan diri yang terus kupikul.
Kepada dunia. Kepada masa lalu. Kadang bahkan kepada diriku sendiri.
Ada titik di mana aku mulai bertanya:
Apa gunanya sampai tujuan kalau dalam prosesnya aku kehilangan diriku sendiri?
Apa artinya berhasil jika dalam perjalanannya aku terus memakai topeng yang tak pernah benar-benar cocok?
Akhirnya, aku berhenti berlari karena ingin dinilai cukup.
Aku mulai berjalan karena tahu aku sudah cukup.
Bukan berarti tidak ingin berkembang, tapi karena aku sadar: pertumbuhan yang tulus tidak butuh pembuktian—hanya butuh kejujuran.
Di fase ini, aku tak lagi merasa harus menjelaskan semuanya.
Tak lagi mendesak pengakuan.
Karena aku tahu, hidup yang tulus bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang berani jadi versi terbaik dari diri sendiri… bahkan ketika tak ada yang melihat.
Dan rasanya aneh tapi damai: berjalan tanpa beban pembuktian.
Karena akhirnya, aku memilih menjadi, bukan membuktikan.