Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak percaya pada hantu. Namun, aku percaya pada sesuatu yang tertinggal.
Langit sore seperti selembar kain yang direndam darah matahari. Aku melangkah menyusuri jalan kecil di tepi kampung, ditemani kelembapan yang mengambang, dan aroma tanah basah yang menyegak hidung.
Di dekat tikungan menuju rumah, jalan menyusur tepi pemakaman desa. Nisan-nisan rebah di antara semak belukar dan pohon pisang liar yang tumbuh tak terurus. Aku memperlambat langkah. Angin menyapa tanpa salam, menyentuh tengkuk dan membuka kerah bajuku.
Seorang anak perempuan tampak berdiri diam, punggung menyandar pada batang pohon. Tubuhnya kecil, rambutnya dikuncir dua. Jemarinya memetik daun satu per satu, lalu membiarkannya jatuh begitu saja. Ada ketenangan yang terbias, tetapi dibalut keresahan dari caranya menyepi.
Aku mendekat. Wajahnya familiar.
“Arisa?” sapaku, suara tercekat sedikit di ujung.
Anak bungsu Pak Surya. Usianya baru tujuh tahun. Kemeja kartun dan celana pendeknya tampak lusuh oleh keringat dan tanah. Tidak ada yang ganjil, kecuali dia seolah sedang menghitung waktu menunggu.
“Kamu ngapain di sini? Lagi main?” tanyaku tanpa menoleh penuh.
Aku menatap sekeliling. Sepi. Hening menyatu dengan damainya orang-orang yang tengah tertidur dalam keabadian.
“Sendiri?”
“Nggak. Aku lagi main petak umpet sambil nunggu Bapak aku pulang,” jawabnya, akhirnya, melirik sebentar. Senyumnya ringan, tetapi matanya kosong.
Aku menelan ludah. “Pulang yuk! Udah sore. Tunggu di rumah aja.”
Arisa menggeleng. “Belum boleh. Bapak bilang aku jangan ke mana-mana.”
Aku mengerutkan dahi. “Bapak?”
“Iya.” Ia menengadah dan melambai. “Itu dia…”
Aku mengikuti arah tatapannya.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya bayangan pohon pisang yang tergolek panjang, dan semak liar yang bergoyang tipis. Akan tetapi, Arisa bersikeras mengulurkan tangan ke udara, menyambut ruang kosong dengan senyuman. Lalu, dia berlari sambil berteriak:
“Bapak!”
Langkahku membatu. Kejanggalan sudah merayap sejak tadi. Mungkin Arisa sedang berhalusinasi. Rindunya tertahan terlalu lama sebab ayahnya belum juga pulang.
Aku perhatikan Arisa dari jarak sekitar 10 meter. Dia tersenyum lebar. Matanya berbinar.
“Bapak kok lama, sih?” Ada kesal yang mengadu; ada rindu yang menaut.
Dia menumpahkan semuanya. Suaranya terdengan penuh semangat.
Masalahnya, tak ada yang menjawabnya. Tak ada siapa pun.
Aku memutar kepala, menyapu semua sisi. Hanya ada senja yang semakin pekat dan sunyi yang menolak menjelaskan.
Lalu, dari ujung gang, suara anak-anak menyeruak. Tiga anak muncul sembari terus tertawa, menyebut-nyebut nama Arisa. Arisa menoleh, kemudian menyatu bersama mereka.
Aku tetap berdiri. Masih menelaah yang baru saja kusaksikan. Dingin menjalari kakiku. Kata "Bapak" mengiang di kepala.
Itu bukan sekadar panggilan. Itu semacam keyakinan, yang tak tahu ke mana harus ditujukan.
***
Malamnya, aku membuka ponsel. Cahaya layar menyayat ruang kamarku yang gelap. Di antara notifikasi yang biasa, satu status muncul: foto Pak Surya di ranjang rumah sakit. Wajah pucat. Mata setengah terbuka. Selang menusuk hidung.
“Mohon doanya untuk kesembuhan suami saya!”
Kalimat itu menyelusup sebagai gema halus di balik ekspresi Pak Surya, ekspresi yang mestinya hanya memantulkan sakit. Namun, ada kekosongan lain di sana, semacam ketidakhadiran yang sulit dijelaskan. Ia menyerupai potret getir harapan Arisa sore tadi.
Mungkin hanya kebetulan, meski ada jeda aneh yang belum bisa kututup sepenuhnya.
Aku memejamkan mata. Meninggalkan perenungan yang mengaduk-aduk nalarku. Semoga esok segalanya menguap bersama hangatnya fajar.
Sayangnya, tidurku terusik oleh berbagai pemikiran. Tak bisa mencapai alam mimpi. Ini tak biasa. Aku seperti dijejali kegundahan yang bukan milikku.
Sebelum azan Subuh berkumandang, toa musala berbunyi khas. Nyaring nan menyentak.
Berita haru menyusul sesaat kemudian:
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Telah berpulang ke rahmatullah, Bapak Surya...”
Aku diam. Tidak terkejut, tidak juga bingung. Hanya bergumul dengan satu tanya: mungkin aku keliru menyebut Arisa tenggelam dalam persepsi palsu. Mungkin anak-anak memang dapat melihat dengan cara yang belum bisa kupahami.
Lepas sembahyang, aku melayat ke rumah duka. Lantunan Surah Yasin mengalun di antara tangisan. Wajah-wajah muram bersandar dalam keikhlasan. Arisa duduk di sudut, dipeluk ibunya. Tangisnya tak pecah, hanya tatapan sayu yang terus terarah ke depan pintu.
Sesekali dia menunjuk, berbisik pelan—"Itu Bapak..."—tetapi tak ada yang menanggapi. Mungkin dikira belum mengerti, atau sedang dalam penyangkalan anak kecil yang belum paham benar tentang kematian.
Aku mematung di dekat jendela, membiarkan suara-suara melarut bersama dengung doa. Di bawah pohon mangga, mataku menangkap sosok yang tak asing. Seorang pria berdiri diam. Pakaiannya putih bersih. Posturnya tegap, terlalu tegap untuk seseorang yang baru saja meninggal dunia.
Ya, Pak Surya.
Dia menatap ke arah dalam rumah, seolah memastikan kondisi mereka yang ditinggalkan. Lalu perlahan, pandangannya bergeser ke arahku.
Sorot mata kami bertemu. Rautnya tampak masih menggantungkan keinginan.
Begitu sekelompok orang melintas, sosok itu lenyap. Tanpa jejak.
Aku terus menatapnya, berusaha memastikan. Mungkin mataku salah menafsir, atau pikiranku tengah dipermainkan rasa bersalah. Atau mungkin Tuhan sedang ingin aku melihat, tanpa tahu apa yang sebenarnya kulihat.
***
Sejak hari itu, setiap kali aku melewati pohon pisang di area pemakaman, aku merasakan ada yang tengah menunggu. Bukan bayangan. Bukan suara. Hanya hening yang terasa terlalu penuh. Kadang aku mempercepat langkah, kadang aku menoleh, berharap tidak melihat apa pun.
Sejak kapan perpisahan bisa begitu halus, hingga tak terasa telah terjadi?
Bukan Arisa yang tersesat dalam bayangan.
Mungkin aku yang terlalu lama tinggal di balik terang.