Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bimaaa… sikat gigi dulu sana. Habis itu baru boleh tidur!” seru Mama dari kejauhan.
Bima melirik malas ke batang sikat gigi berwarna kuning tua dan sebotol pasta gigi. Dia menguap lebar, mengambil piama favoritnya, lantas melompat ke ranjang besi di kamarnya.
***
“Ya, ampun, Bima! Mulut kamu kotor banget. Jorok, ah!” seru Lita saat melihat Bima nyengir. Tampaklah gigi warna kuning dan kotoran yang mengerak di sudutnya. Suatu pemandangan yang menjijikkan dan tidak pantas untuk dilihat.
“Kamu nggak sikat gigi, ya?” tanya Luna, sahabat Lita.
Bima mengangguk polos. “Buat apa sikat gigi, cuma bikin air boros dan ngantuk aja,” katanya.
“Tapi seenggaknya gigimu nggak kotor begitu. Kalau Bu Guru lihat, bagaimana?” tambah Nia.
Bima menguap, lalu mengambil sebungkus cokelat dari sakunya. “Biarlah. Lagi pula, kesehatan gigi nggak masuk nilai rapor, kan?”
Lita, Luna, dan Nia meninggalkan Bima sendirian menikmati cokelatnya.
“Eh, Bim, nanti sore ikut main bola, nggak? Kita tanding lawan kelas sebelah,” ajak Roni.
“Ayo, gas!” sahut Bima.
“Oke! Aku tunggu kamu di sana, ya. Pukul setengah em…” Ucapan Roni terhenti begitu tercium napas Bima. “Aduuuh… kamu belum sikat gigi, ya? Kok, ada bau-bau begitu?”
“Memang kenapa?”
“Ya, kan, nggak enak begitu, Bim! Baunya juga mengganggu orang. Semalam ngapain aja, sih, kok, sampai lupa gosok gigi?”
“Main game, terus aku ngantuk, dan lupa gosok gigi. Langsung ambruk di tempat tidur.”
“Harusnya kamu gosok gigi dulu, biar mulut nggak bau! Tadi pagi juga enggak, ya?”
“Nggak.”
“Tuh, kan! Makanya rajin-rajinlah sikat gigi, Bim. Biar gigimu selalu sehat. Kalau seperti ini, jadinya jelek, kan?”
Sekali lagi, Bima menguap. “Ah, kamu sama aja seperti anak-anak perempuan itu. Kerjanya ngomel aja!” semburnya seraya meninggalkan Roni untuk membuang bungkus cokelat.
***
Sore hari, sambil menunggu anak-anak datang, Bima menunggu bersama Candra.
“Eh, Bim, kamu tahu, nggak, ternyata kalau kita taruh sepotong gigi yang copot dari gusi di bawah bantal, nanti besoknya bakal jadi hadiah!” berita Candra.
“Serius, Can? Kok, bisa?”
“Soalnya Peri Gigi suka ngasih hadiah buat anak-anak yang giginya copot. Katanya, sih, biar anak-anak itu nggak nangis karena kesakitan. Kamu tertarik buat coba?”
Bima menjawab, “Mau, mau! Tapi… gigiku, kan, belum ada yang copot. Bagaimana caranya bisa dapat hadiah dari Peri Gigi?”
“Gampang. Kamu coba aja nggak gosok gigi selama sebulan. Nanti pasti ada gigimu yang copot. Habis itu kamu taruh aja di bawah bantalmu. Nanti bakal di-notice sama Peri Gigi!”
“Oke, Can, makasih banyak!”
Karena ingin mendapatkan hadiah dari Peri Gigi, Bima berhenti menyikat giginya. Lama-lama, napasnya bau juga. Setiap ke sekolah atau ke mana-mana, dia selalu memakai masker, supaya bau mulutnya tak tercium.
Dan benar saja. Sebulan kemudian, gigi Bima benar-benar lepas. Hanya sepotong. Dia bersorak kegirangan. Malam harinya, diselipkannya potongan gigi itu ke bawah bantal.
“Mudah-mudahan aku dapat hadiah dari Peri Gigi,” gumamnya sambil mematikan lampu dan tertidur pulas.
***
Peri Gigi muncul dari balik jendela.
“Hai, Bima! Kenalin, aku Peri Gigi!” sapanya sambil terbang di atas Bima.
Tentu saja, Bima tidak menjawab. Anak itu sudah berada di alam mimpi. Suara ngorok dari mulutnya menjawab sapaan Peri Gigi.
“Eh, eh, kok, ada bau-bau nggak sedap, nih? Jangan-jangan dia malas sikat gigi!” Peri Gigi terbang ke bawah bantal Bima. Diambilnya sepotong gigi berwarna kekuning-kuningan milik bocah itu.
“Tuh, kan, bener! Dia malas membersihkan giginya. Kotor banget!” komentar Peri Gigi sambil melemparkan potongan gigi itu. “Nggak usah dikasih hadiah, ah!”
Peri Gigi mengepakkan sayapnya, kembali menuju istana tempatnya bersemayam.
***
“Hoaaaaahm… waktunya bangun tidur,” gumam Bima. Dia menggaruk-garuk kulit kepalanya dengan malas, kemudian menyibakkan selimut.
Oh, iya, mungkin hadiahnya sudah ada, pikir Bima. Dengan senyum tersungging di bibirnya, Bima membuka bantalnya.
Lho, kok, nggak ada?
Dia membolak-balik bantal, berusaha mencari. Sia-sia saja, semuanya nihil. Yang ada hanyalah sepotong gigi berwarna kekuningan yang baunya menyengat.
“Eww… bau sekali!” gumamnya.
Dia bergegas-gegas turun ke bawah, melaporkan kejadian tersebut pada Mama.
Setelah mendengar cerita dari putranya, Mama tertawa terbahak-bahak. Bima hanya memandanginya dengan heran.
“Kenapa, Ma? Ada yang lucu?” tanyanya polos.
“Aduh, Bima, Bima. Kamu dengar cerita dari teman kamu, ya? Jangan harap kamu dapat hadiah, lho, ya…” sahut Mama dengan tawa masih belum menghilang di mulutnya.
“Maksudnya? Kok, aku nggak dapat hadiah, Ma?”
“Peri Gigi, tuh, nggak suka sama orang yang jarang gosok gigi. Dia nggak mau terima gigi orang yang jorok. Makanya kamu nggak dikasih hadiah! Percuma aja kamu berusaha bikin gigimu copot, karena akhirnya, toh, kamu nggak bakal dapat apa-apa!”
Seketika Bima cemberut. Dia tak menyangka Peri Gigi akan berbuat seperti itu. Sambil memanyunkan bibirnya, ditatapnya potongan gigi di tangannya.
“Sudah, sana buang gigi itu! Jangan coba-coba nggak gosok gigi terus, ya. Lama-lama, rusak gigimu!” ujar Mama sebagai penutup, sebelum kembali ke dapur.
Bima menyesal karena membuang-buang sebatang gigi bila tidak dapat sesuatu. Dia memutuskan untuk rajin menggosok gigi. Dan kini, napasnya tak lagi berbau busuk.