Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semuanya berawal dari sebuah pesan langsung di Instagram, sekitar tiga bulan lalu. Akun dengan nama profil “Kolektor Jeritan” itu menawarkan sesuatu yang sulit ditolak.
“Bang, kami sedang mencari ghostwriter untuk cerita horor, bayarannya 1 juta per cerita”.
Aku tertegun. Tawaran itu jelas menggiurkan, tetapi honorarium yang begitu tinggi untuk penulis amatir sepertiku membuatku curiga.
“Seberapa panjang naskahnya?” balasku.
“Antara 2000 sampai 4000 kata,” jawabnya cepat. “Ada beberapa instruksi khusus yang harus diikuti selama proses penulisan. Detailnya akan kami kirim setelah kontrak ditandatangani.”
Ternyata mereka sedang merintis sebuah kanal YouTube bernama “Kolektor Jeritan”, sebuah antologi horor yang berlatar di kota fiksi Jatisari. Setelah berpikir semalaman, aku menyetujuinya. Kontrak sederhana itu segera mendarat di surelku: bayaran satu juta rupiah per cerita, semua hak cipta menjadi milik mereka, dan satu klausa yang digarisbawahi: aku WAJIB mengikuti semua instruksi penulisan. Pelanggaran berarti pembatalan kontrak sepihak.
Setelah kontrak kukirim kembali, instruksi itu pun datang. Keningku berkerut dalam saat membacanya.
· Naskah wajib diketik di Google Doc.
· Waktu penulisan hanya boleh dilakukan antara pukul 18.00 hingga 20.00.
· Dilarang keras menyunting tulisan di luar jam tersebut.
· Selipkan frasa ini di dalam cerita: Uk Ap Ak Gn At Ab Oc.
· JANGAN ucapkan frasa itu dengan lantang.
· SEBELUM menulis, periksa lemari pakaian Anda.
· SAAT menulis, pastikan semua pintu kamar terkunci.
· SETELAH menulis, jika cerita belum selesai, ucapkan dengan lantang, "Kolektor Jeritan, jangan datang! Tidak ada yang perlu dikumpulkan," lalu tutup dokumen.
· Jika cerita sudah selesai, ucapkan, "Kolektor Jeritan, datang dan kumpulkan," lalu ketik FIN di akhir naskah sebelum menutupnya.
Kumpulan instruksi ini lebih terasa seperti ritual daripada panduan menulis. “Apakah ini semacam role playing?” tanyaku pada mereka.
“Semua pedoman dibuat oleh tim kreatif kami untuk membantu penulis menyelami dunia fiksi yang kami ciptakan. Ikuti saja aturannya,” balas mereka, singkat dan dingin.
Lalu, tema pertama pun dikirimkan: seorang pengunjung hotel di Jatisari yang menemukan daftar aturan aneh dan menghilang setelah melanggarnya. Tubuhnya ditemukan termutilasi di dalam koper dan kotak bekal yang tersebar di sebuah taman bermain. Aku juga menerima sebuah foto lampiran: taman bermain usang dengan perosotan kuning yang dikelilingi ilalang tinggi.
Tepat pukul enam sore, aku duduk di depan laptop. Teringat aturan konyol itu, aku beranjak dengan malas untuk memeriksa dua lemari di apartemenku dan mengunci pintu. Setelah itu, aku mulai menulis. Jemariku menari lincah di atas papan ketik. Cerita mengalir deras. Aku menyelipkan frasa aneh itu sebagai coretan samar di dinding kamar hotel si protagonis. Sesekali, ikon penonton anonim muncul di sudut atas Google Doc, lalu menghilang.
Dua jam kemudian, naskah sepanjang 2.500 kata itu selesai. Aku berdeham, lalu berseru ke ruangan yang kosong, "Hei Kolektor Jeritan, datang dan kumpulkan!"
Aku mengetik "FIN" di akhir dokumen. Seketika, naskah itu lenyap begitu saja. Layar Google Doc di hadapanku kini putih bersih, kosong. Kepanikan mulai menjalari diriku. Kerja kerasku selama dua jam hilang! Bagaimana aku bisa membuktikan—
Ting! Sebuah notifikasi SMS dari bank masuk. Satu juta rupiah baru saja ditransfer ke rekeningku. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan baru masuk dengan tema berikutnya: sepasang suami-istri tersesat di hutan Jatisari dan bertemu monster. Pada akhirnya, hanya kulit mereka yang ditemukan.
Malam itu, sekitar pukul dua pagi, sebuah ide cemerlang membangunkanku. Aku tak sabar ingin menuangkannya. Aku membuka laptop dan mulai mengetik deskripsi tentang monster tak kasat mata yang memangsa organ dalam korbannya. Namun, belum selesai satu kalimat, tulisan itu terhapus dengan sendirinya, seolah ada yang menekan tombol backspace dari jauh.
Seseorang—atau sesuatu—sedang mengawasiku. Jantungku berdebar kencang. Aku teringat aturan waktu penulisan yang konyol itu. Rasa ngeri yang dingin merayap di punggungku. Aku membanting laptopku hingga tertutup dan memaksa diri untuk kembali tidur.
Butuh empat hari untuk menyelesaikan cerita kedua, hanya dalam rentang waktu dua jam setiap malam. Aku mengakhirinya dengan deskripsi kulit berdarah yang tergeletak di tanah, dengan kuku jari salah satu korban yang dicat merah muda, kini berlumuran darah kering. Seperti sebelumnya, naskah lenyap dan uang masuk. Namun, kali ini disertai peringatan: “Hanya boleh menulis antara pukul 18.00 - 20.00”.
Beberapa cerita berikutnya kuselesaikan dengan kepatuhan buta, meskipun terkadang ada pemotongan honor karena lupa menyisipkan frasa keramat itu. Aku mulai rutin memeriksa kanal YouTube mereka. Videonya dibuat dengan narasi suara yang diubah secara digital, diiringi animasi sederhana. Penontonnya sedikit, tetapi aku tak peduli. Sampai suatu pagi, wajahku memucat saat membaca sebuah berita daring.
“MAYAT TERMUTILASI DITEMUKAN DALAM KOPER DI TAMAN BERMAIN TUA”
Aku mengklik tautan itu dengan tangan gemetar. Lokasinya bukan di kota fiksi Jatisari, tetapi di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Namun, detailnya membuat perutku mual: koper, kotak makan siang, dan sebuah taman bermain yang fotonya sangat kukenali. Itu taman bermain dengan perosotan kuning dari lampiran yang mereka kirimkan.
Dengan panik, aku membuka kanal Kolektor Jeritan. Video pertamaku yang tadinya hanya ditonton ratusan kali, kini viral. Polisi mulai menyelidiki. Tak lama, berita lain muncul. Dua orang pendaki ditemukan tewas di sebuah cagar alam. Atau lebih tepatnya, hanya kulit mereka yang ditemukan teronggok di pinggir jalan setapak. Hal yang paling membuatku merinding adalah pernyataan dari kakak salah satu korban: adiknya tidak pernah memakai cat kuku, tetapi jenazahnya ditemukan dengan kuku jari berwarna merah muda.
Ceritaku bukan lagi fiksi. Ia menjadi cetak biru bagi seorang pembunuh.
Saat itulah aku teringat frasa aneh itu. Uk Ap Ak Gn At Ab Oc. Aku menatapnya, membacanya berulang kali di catatan lamaku. Lalu, iseng, aku membacanya dari belakang.
cO… bA… tAnG… kAp… Ak… U.
Coba Tangkap Aku.
Jantungku serasa jatuh ke perut. Ini bukan sekadar cerita. Ini adalah ejekan seorang pembunuh berantai. Aku segera menghubungi polisi dan menceritakan semuanya.
Namun, semalam, sekitar pukul enam sore, sebuah surel baru masuk dari alamat yang sama. Jantungku seolah berhenti berdetak saat membaca isinya.
Tema berikutnya: Seorang penulis lepas yang diburu setelah polisi menemukan petunjuk tentang serangkaian pembunuhan dari video YouTube yang dia tulis. Pada akhirnya, penulis itu ditemukan tewas di depan laptopnya.
Di bawahnya, ada sebuah lampiran. Dengan jari gemetar, aku membukanya.
Itu adalah foto mejaku. Kamarku. Diambil dari sudut ruangan, dari arah lemari.
Sialan. Karena panik , aku lupa memeriksa lemari.
Lalu aku mendengar suara pintu lemari bergeser.
END