Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari itu, langit kampus dibungkus mendung tipis. Gedung Teknik Informatika tampak riuh. Hari pertama ospek. Zira, mahasiswi baru yang masih kaku dengan tas besar dan wajah gugup, melirik ke sekeliling. Matanya menangkap seorang kakak tingkat berkacamata hitam, memakai rompi bertuliskan “MEDIK”. Posturnya tegap, tapi sorot matanya tenang. Namanya Arga.
"Nama kamu siapa?" tanya Arga sambil menyerahkan air minum kepada Zira yang tampak kelelahan setelah sesi lari-lari.
"Zira, Kak."
"Zira... istirahat dulu, jangan maksa kuat. Di Teknik Informatika kita banyak pakai otak, bukan otot," jawab Arga dengan senyum tipis.
Zira diam, menunduk. Tapi entah kenapa, kalimat itu tertanam lama. Dan dari situlah semua dimulai.
Semester demi semester berganti. Zira mulai terbiasa dengan kehidupan kampus, dan sosok Arga tak lagi hanya sekadar kakak medik di hari ospek. Mereka beberapa kali terlibat dalam acara jurusan, kadang sekelas dalam mata kuliah pilihan, dan lebih sering lagi duduk di meja pojok kantin yang sama.
"Kenapa kamu ambil Data Mining?" tanya Zira suatu hari.
"Karena itu jurusan yang penuh pola. Seperti kamu."
Zira menoleh, heran. "Pola gimana?"
"Kamu selalu masuk kelas 10 menit sebelum dosen, duduk di tempat yang sama, bawa kopi rasa sama, dan... nyengir setiap kali aku lewat."
Zira mengerucutkan bibir. "Geer banget, Kak."
"Tapi bener, kan?"
Dan mereka tertawa. Entah sejak kapan, rasa nyaman mulai tumbuh.
Saat semester tujuh, keduanya tergabung dalam proyek dosen untuk mengembangkan sistem monitoring skripsi berbasis web. Tim kecil itu hanya berisi mereka berdua dan satu dosen pembimbing. Sering lembur di lab membuat waktu mereka lebih intens.
"Kalau kita gagal nyelesain project ini, gimana?" tanya Zira di suatu malam, kepala bersandar di meja lab.
"Gagal bareng. Tapi kalau berhasil, kita bisa skripsi bareng," jawab Arga sambil mengetik kode.
Zira diam. Lalu membalas, "Kalau skripsi bareng, bisa lulus bareng dong."
Arga berhenti mengetik. Menatap Zira. "Kalau lulus bareng... mungkin bisa nikah bareng?"
Zira terdiam. Pura-pura sibuk buka GitHub. Tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan.
Sidang skripsi akhirnya tiba. Zira dan Arga dijadwalkan hari yang sama. Pagi itu, keduanya duduk berdampingan di bangku tunggu luar ruangan. Jantung sama-sama deg-degan.
"Kalo nanti dosen nanya kenapa aku milih sistem pelaporan real-time, aku jawab aja: karena kamu real," gumam Zira.
Arga tertawa kecil. "Kamu udah bisa ngelawak juga sekarang."
"Belajar dari kamu," jawab Zira sambil menyenggol pundaknya.
Setelah sidang selesai, mereka saling menatap. Lulus. Plong. Dan tanpa kata, mereka berpelukan singkat.
"Yuk," kata Arga sambil menggenggam tangan Zira. "Kita tulis bab baru, bukan skripsi. Tapi hidup bareng."
Pernikahan mereka sederhana, hanya dihadiri keluarga dan beberapa teman kampus. Tapi bahagia terasa utuh. Di antara tamu, ada dosen pembimbing mereka yang tersenyum lebar.
"Jadi bener ya," kata dosen itu sambil menyalami mereka.
"Apa, Pak?" tanya Zira.
"Nama di ujung skripsi itu bukan cuma penulisnya. Tapi juga yang nemenin sampai akhir."
Arga menggenggam tangan Zira lebih erat.
Dan seperti itulah, satu nama di ujung skripsi, menjadi awal dari cerita baru mereka.