Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku kira, melangkah saja sudah cukup.
Ternyata tidak.
Langkah tanpa arah tak ubahnya seperti orang berlari dalam kabut --- bergerak, tapi tak pernah benar-benar mendekat. Dulu aku pikir diam adalah jurang terdalam, tapi ternyata melangkah tanpa tujuan bisa jadi lebih melelahkan. Bukan tubuhku yang lelah, tapi jiwaku. Seperti ada yang hilang tapi aku tak tau apa.
Saat pertama kali aku tinggalkan zona nyaman, ada euforia yang bergejolak: aku bebas, aku bisa pergi, aku bisa memilih. Tapi tak lama setelah itu, datang sunyi yang lebih dingin. Tiba-tiba aku tersadar, dunia ini luas sekali... dan aku tak tau harus kemana.
Apa arah itu harus cepat-cepat ditentukan? Apa setiap langkah harus tau ujungnya? Atau bolehkah aku sejenak menepi, bukan untuk berhenti, tapi untuk bertanya: "Apa sebenarnya yang sedang kucari?".
Aku mulai belajar membedakan antara bergerak karena ingin dan bergerak karena panik.
Ternyata selama ini aku seringkali hanya ingin menjauh dari sesuatu, bukan mendekat ke sesuatu. Padahal arah itu bukan soal meninggalkan, tapi tentang menyadari ke mana aku sedang dipanggil.
Tujuan tak selalu hadir sebagai papan penunjuk besar di jalan raya. Kadang dia hadir dalam bentuk keinginan yang samar. Kadang lewat rasa gelisah yang tak bisa dijelaskan. Kadang dalam do'a yang tak selesai.
Aku mulai melihat bahwa arah bukan tentang kecepatan, tapi kejelasan niat. Bukan tentang berapa jauh, tapi seberapa jujur aku dengan pertanyaanku sendiri.
Malam-malam itu aku habiskan dengan duduk dalam diam, bukan lagi karena takut, tapi karena sadar: Diam adalah tempat terbaik untuk mendengar suara tujuan. Dan dari diam itu, aku tau: "Aku tak ingin hanya bergerak, aku ingin menuju".