Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tak pernah melihat wajahmu, tetapi aku tahu kamu cantik. Karena tak ada yang lebih memesona daripada seseorang yang tak perlu berbicara untuk membuat dunia terasa terang, di duniaku yang gelap pekat.
Kamu berdiri di tengah taman angsana sore itu, dikelilingi jalak-jalak suren yang tersesat di pelupuk wajahku. Kamu tak mengusir mereka. Kamu hanya diam tak mengembuskan napas, terdengar seperti mengangkat tangan, dan membiarkan satu jalak hinggap di pergelanganmu yang bergemerincing. Seperti kerinduan sepasang kekasih, ketika dunia menjauhkan mereka.
Aku berjalan ke arahmu dengan langkah ragu, meraba udara, mengingat bunyi langkahku sendiri. Kamu tahu aku datang. Bukan karena kamu bisa mendengar, tapi karena kamu bisa merasakan perubahan arah angin, karena kehadiranku. Kita sama-sama menggunakan tubuh yang tak lazim, untuk memahami satu sama lain.
"Aku buta," kataku waktu itu dengan pelan. Seperti bisikan yang kutiupkan pada telingaku sendiri, bukan pada telingamu.
Namun, kamu menoleh dan rasanya sedang tersenyum. Hingga udara di sekitarmu berbisik di telingaku, mengembuskan kalimat tanpa suara. "Aku tuli."
Lalu dunia terasa menjadi lebih tenang, untuk aku dan kamu.
**
Setiap sore aku datang, dan kamu selalu ada. Seperti janji yang tak sengaja kita ikrarkan, lantas selalu ditepati.
Aku membawa warna-warna senja lewat kalimat dari mulutku. "Langit membakar dirinya sendiri hari ini," kataku suatu petang, "seperti tubuh kita yang memilih menjadi nyala, daripada patuh pada kegelapan."
Kamu mengerutkan kening, aku tahu meski tak melihat. Bukan karena kamu mengerti, tapi karena kamu tahu aku sedang mencoba menjelaskan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, dengan netra.
Kamu membalas dalam kibasan bahasa tangan, yang anginnya terasa menyentuh bulu kudukku. Aku tak mengerti sepenuhnya, tapi gerakanmu seperti puisi yang ditoreh di udara dengan khidmat. Lalu kita tertawa. Mungkin karena kita saling salah paham, atau justru karena kita berusaha benar-benar mengerti, di tengah hiruk yang terlampau pikuk.
Aku menggambarkan padamu bentuk cahaya. Bukan dalam warna, tapi dalam kehangatan sentuhanku dan aroma rambutmu.
“Senja hari ini seperti wangi kulit mangga yang baru dikelupas. Manis dan sedikit lengket, seperti kenangan, yang kamu simpan dalam aroma rambutmu,” bisikku pada telingamu.
Kamu mengangguk, aku tahu ketika lehermu terdengar merunduk. Lalu, kamu menulis huruf-huruf di telapak tanganku dengan ujung jari: “Aku percaya.”
**
Ada satu sore yang tak sama di suatu linimasa. Aku datang, tapi kamu tidak ada. Jalak-jalak suren berdiri di atas ranting, karena kaki mereka bergemerisik saking gandrungnya.
Hari itu langit terasa dingin, menyentuh kulit ubun-ubunku. Seolah udara terlalu padat untuk berembus, angin terlalu banal untuk bergerak landai di tubuhku yang bilur. Rasanya mendung, penuh ragu-ragu.
Aku duduk di bangku biasa, menunggu dalam hening yang terlalu panjang karena langkahmu tak ada.
Aku mulai membayangkan tubuhmu meleleh menjadi kabut, lalu larut ke dalam udara yang aku hirup hingga mabuk. Kamu memang terasa seperti bukan dari dunia ini. Kamu tak bergerak, tapi waktu yang mengelilingimu seperti merunduk, hormat pada sesuatu yang tak dapat dimengerti olehku.
Dan hari itu, waktu seolah menertawakanku. Mengambilmu entah pergi ke mana.
**
Tiga hari setelahnya, aku datang lagi. Seperti pria dungu yang tak tahu kapan harus menyerah. Tapi kali ini kamu ada di sana, aku bisa membayangkan kamu berdiri di tengah taman. Tidak dengan jalak suren, tapi dengan angin yang menggoyang rambutmu, seperti ada aroma gula-gula terbang, lantas membaca puisi diam-diam di udara.
Kamu menulis dengan jemari lentikmu di udara, perlahan agar aku bisa membacanya walau tak melihat: “Maaf. Aku sempat kehilangan arah.”
Aku tertawa. "Kamu tahu," kataku, "bahkan matahari pun kadang terlambat pulang. Mungkin ia juga ragu harus tenggelam atau tetap menyala."
Kamu mendekat, mengambil tanganku, dan menuliskan kata: “Jika kamu bisa melihat, apakah kamu akan tetap mencariku?”
Aku tak menjawab. Aku hanya menggenggam jemarimu, lalu menengadah menghadap langit, yang rasanya seperti buah manggis.
“Cahaya adalah kebohongan yang paling lumrah,” kataku, “karena bayangan hanya mungkin ada, jika kita cuma percaya pada terang.”
Kamu menempelkan dahimu ke dahiku. Diam seribu hening. Seperti doa yang tak pernah berhenti dilafalkan, karena kamu terlalu berisik, untuk wajah yang sebegitu cantik. Mungkin karena kita tahu, bahasa terbaik adalah yang tak dipahami oleh terlalu banyak kepala, kecuali dua orang yang memilih senja di titik yang sama.
**
Di kehidupan lain, mungkin kita sedang saling mendengar dan saling melihat. Di dunia lain, mungkin kita akan bertengkar karena hal-hal kecil. Tapi di dunia ini—dunia yang terlalu ribut tapi sendu—aku hanya ingin terus menemuimu di waktu paling ringkih: ketika senja belajar menerima bahwa ia tak bisa selamanya tinggal.
Dan kamu akan tetap berdiri di sana. Membiarkan jalak suren hinggap, dan membiarkan aku mencintaimu dalam kebutaan yang begitu terang benderang.
Karena aku akan menemuimu di senja yang sama. Selalu.