Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kalau perlu menghadap ke belakang, kemudian berjalan jauh tanpa menoleh, kurasa aku tak mampu.
_____
Sejauh hidupku, bercakap bukan soal keluarnya kata-kata. Bukan juga soal mendapat jawaban sebuah kata, atau kalimat. Melainkan bagaimana aku merasa, kemudian seseorang memahaminya.
Malam tadi, ruang kendaliku terombang-ambing. Dalam tidur aku diserang ombak dahsyat. Mataku tertutup, sementara tubuhku terbungkus selimut. Aku tak bisa menyelamatkan diri. Hanya bisa pasrah.
Mimpi itu bagaikan dunia realis, hampir terasa nyata. Hingga tulisan ini kutinta, aku masih merasakannya. Merasakan perasaan tidak sepi yang sudah hilang berbulan-bulan.
Hidupku bergantung pada pena yang kupegang. Makananku adalah idealisme. Sementara minumanku hanya air dari sumur tua. Bagaimana caraku mengakhiri kisah, adalah bagaimana caraku menggerakkan pena.
Saat aku sarapan dengan menu bernama 'idealisme', kemudian minum dari air sumur tua. Aku kenyang dan merasa tak 'kelaparan'. Namun waktu selalu menjadi peranan penting dalam tiap alkisah.
_____
Saat aku merasa ditinggal. Darahku meninggi, keinginanku meroket. Rasa ingin membuktikan selalu membayang-bayangi. Aku coba sarapan dengan 'idealisme'. Itu kembali membawaku selayak menemukan jalan terbaik yang aku undur jauh-jauh hari.
Aku memompa setiap hari dalam minggu dan bulan untuk menjadi lebih baik. Dari selama aku memakai akalku, aku mendapat satu pandangan baru, bahwa pada waktu itu aku benar-benar tidak ragu. Maka kugores pena hingga kakiku terus melangkah menjauh, sementara kepalaku tetap terpaku lurus membelakanginya.
Sampai waktu benar-benar memainkan perannya.
_____
Aku berhasil untuk sebulan ini. Namun lidahku hampa, tidak ada rasa manis yang diserap indra perasa ini dari mencicipi menu bernama 'idealisme'. Maka saat nafsuku benar-benar memuncak karena tak pernah merasakan makanan manis. Lalu perasaanku memvisualisasikannya dalam mimpi, sehingga untuk menolak pun tak bisa.
Mimpi itu hadir 'bagaikan' mimpi basah—dalam hal ini adalah rindu. Seperti lelaki alim yang menahan nafsunya selama sebulan. Datang secara alamiah, dan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan beberapa pria.
Aku merasa tidak kesepian.
Dia hadir dalam mimpiku. Aku ingat bagaimana khayalanku memvisualisasikan pundak dan lengan kirinya, lalu suaranya timbul dan berkata, "Tenanglah, aku ada di sini." Entah bagaimana indra perabaku aktif, seperti kepalaku sedang diusap olehnya—itu sangat mengingatkanku padanya, tepat di sebuah tempat.
Pukulan mimpi itu seakan menghajar semuanya. Seakan keinginanku untuk membuktikan kepadanya, menjadi, "Aku ingin membuktikan kepadamu."
Tubuhku belum mampu melupakan sentuhannya, sementara otakku masih menyimpan suara dan lekuk tubuhnya. Lalu dalam ruang khayalanku, dia tercipta, menjadi sosok yang mengobati kesepianku malam tadi.
Sejauh apa pun idealis-ku memenuhi tubuhku, aku akan kalah pada akhirnya. Sejauh mana pun aku menggores tinta, melukis langkah kakiku untuk berjalan membelakanginya, juga dengan kepalaku yang terpaku lurus membelakanginya. Pada akhirnya aku menoleh kepadanya.
Aku benci bagaimana kami dapat bercakap dengan hanya memahami perasaan masing-masing. Dan aku yakin hanya orang jatuh cinta yang dapat melakukan itu.
Entahlah, mimpi terkadang muncul secara acak, dan aku tak punya kendali atas itu. Sejauh apa pun aku mengelak, pada akhirnya itu tidak akan bisa dilupakan. Lekat dalam memoriku di suatu tempat.