Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Basri duduk bersandar di kursi kayu tua, di beranda rumahnya yang menghadap jalan kampung. Cerutu mengepul dari sela bibirnya, menggantung di ujung rasa, perlahan habis dimakan waktu. Pandangannya kosong, menembus sore yang mulai redup. Langit mengguratkan jingga yang melebar seperti luka lama yang tak pernah sembuh seutuhnya.
Bukan jalanan yang ia amati. Bukan pula lalu-lalang warga desa yang ia perhatikan. Ada yang lebih jauh dari itu—mungkin kenangan, atau mungkin asa yang menguap di udara. Basri seolah menatap ke masa yang tak bisa ia ulang, tetapi tak cukup yakin untuk memetakan kesalahan.
Senja tak bisa dicegah datangnya. Kecewa menggerogoti, sebab angkasa tiba-tiba gelap. Awan-awan kelam menggantung, membawa hujan dan petir secara beriringan.
Pertapaan Basri tersentak kala suara langkah mendekat. Aroma lumpur segar menyusup bersamaan dengan ceplakannya yang menempel di sandal dan pakaian. Ahmad, tetangganya, muncul dari arah pematang.
“Kenapa padinya masih belum dipupuk, Mang?” tanya Ahmad, santun—membuka percakapan sembari menata keberanian.
Basri tidak langsung menjawab. Hanya menghela napas pendek, menghembuskan asap cerutu ke sisi barat. Mata tuanya mengerut, menatap Ahmad. Ia diam sejenak, menimbang pertanyaan itu pantas dijawab atau tidak.
“Saya tidak sanggup beli,” ujarnya, akhirnya, ketus. “Harganya sudah semakin mahal.”
Nada itu tak sekadar keluhan. Ada bara yang terselip di dalamnya.
Ahmad diam, mencoba menangkap maksud yang lebih dalam.
“Loh, kan ada pupuk subsidi, Mang,” ucap Ahmad, hati-hati. “Saya tadi dari kios, katanya masih bisa ambil pakai kartu tani.”
Basri bangkit, berdiri dengan tangan kiri membentuk segitiga di pinggang. Cerutu yang masih setengah dilempar begitu saja ke tanah. Asapnya mengepul beberapa detik, lalu mati tertindih tumit tuanya.
“Mau saya pupuk atau tidak, itu bukan urusan kamu.” Suaranya meninggi. Raut wajahnya menegang. Petang yang membentang dalam senyap, kini terasa pengap, menantang amarah.
Ahmad terkejut. “Ma...af, Mang. Saya cuma mengingatkan saja. Sayang kan tanaman padi Mamang kalau tidak diurus.”
Suaranya menurun, diseret oleh getar ketakutan. Sorot tajam dari mata Basri memukul mundur kakinya. Ia lantas berbalik pergi.
Basri mematung dengan napas berat. Sorenya direbut, pikirannya dirampas
Ia memandangi persawahan. Angin sore menggeser bau lumpur menjadi keresahan. Sekejap, sepotong kenangan menyelinap ke balik kelopak matanya.
Dulu, ketika anak-anaknya masih kecil, mereka suka bermain di tumpukan jerami. Basri kerap melihat mereka dari kejauhan. Kotor. Tertawa lepas. Pernah suatu waktu, menjelang maghrib, anak sulungnya pulang dengan kulit kemerahan dan bentol-bentol di sekujur tubuhnya. Ia menangis, minta diobati. Namun, Basri malah menghardik, “Salah sendiri. Main nggak tahu waktu. Obati sendiri. Jangan manja!”
Sejak saat itu semuanya terasa renggang. Ibarat ranjang bambu yang menyisakan celah kasar untuk diduduki.
Hari-hari berlalu menyematkan sepi. Ia lebih sering pulang larut dengan badan pegal, percaya bahwa nasi yang terhidang cukup menandakan kasih.
Sekarang, ia hidup sendiri. Anak-anaknya telah pergi—dengan bekal hidup yang kurang, dengan arah yang buram. Tak satu pun kembali membawa harapan. Tak satu pun mengangkat martabat yang dulu ia dambakan.
Basri kembali menyandarkan punggung. Cerutu sudah mati. Jemarinya dingin, menahan gemetar yang entah milik penyesalan, entah milik kekecewaaan.
Ia menatap ladang miliknya yang terhimpit di antara hijau yang menjulang. Kering. Tertutupi ilalang. Tumbuh, tetapi tak subur. Sama seperti hidupnya. Dibiarkan begitu saja, pasrah, seolah musim akan selalu tahu waktu yang tepat.
Seekor burung kecil melintas di atas kepala, mengepak sayapnya ke arah surya tenggelam—menuju senja yang ditinggalkan. Basri menatap ke langit. Jingga telah menjadi tembaga. Cahaya tersisa hanya cukup untuk menunjukkan bayangannya yang membungkuk di tanah.
Ia tidak mengejar burung itu. Tidak juga memanggil Ahmad kembali.
Ia hanya duduk. Melepas pergantian hari, melepas banyak hal lainnya. Malam sudah bersiap menyapa. Namun, tak ada yang benar-benar siap.