Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kursi rotan itu masih berada di sudut beranda, menjadi konstanta dalam alam semesta kecilku yang semakin lama semakin menyusut. Aku tidak pernah memindahkannya, bahkan satu sentimeter pun. Mungkin karena lapisan tipis kemalasan yang sudah mengeras menjadi semacam cangkang di sekelilingku. Atau mungkin—dan ini adalah kemungkinan yang lebih jujur—karena aku mempercayai takhayul konyol. Takhayul bahwa jika aku menggeser posisinya, keseimbangan kosmik yang rapuh akan terganggu. Sesuatu yang esensial akan lenyap, terurai menjadi partikel yang tak bisa dilihat dengan akal sehat seperti spora jamur yang tertiup angin malam.
Di atas sandarannya, masih tersampir selimut ungu muda dengan motif bintang-bintang perak kecil. Jahitannya sedikit tidak rata di beberapa bagian, sebagai bukti otentik dari kerja tangan manusia, bukan presisi mesin yang dingin.
Dia yang menjahitnya, pada suatu sore yang diwarnai langit oranye dan aroma kopi yang baru diseduh. “Kalau kamu kedinginan,” katanya waktu itu, matanya tidak menatapku, tapi fokus pada bintang-bintang di kain, seolah-olah sedang memetakan galaksi miliknya, “anggap saja ini pelukanku.” Sebuah kalimat yang manis, tentu saja. Tapi aku tidak pernah benar-benar merasa hangat saat memakainya. Mungkin karena kehangatan bukanlah sesuatu yang bisa ditransfer melalui sehelai kain flanel dan kenangan. Mungkin aku memang terlahir dengan suhu tubuh internal beberapa derajat lebih rendah dari orang normal.
Malam ini, hujan turun. Tapi ini bukan jenis hujan yang punya ambisi. Bukan badai dramatis yang merobek langit atau hujan deras yang bernyanyi di atas atap seng. Ini lebih mirip suara orang yang mencoba menangis dalam diam, tapi gagal mengeluarkan air mata. Hanya isakan tertahan di tenggorokan.
Angin malam menyelinap masuk melalui celah jendela, bergerak tanpa suara seperti kucing liar yang pernah kami beri nama Sarden. Kucing itu muncul entah dari mana, tinggal selama tiga minggu, makan ikan kalengan kami, lalu menghilang begitu saja tanpa pamit, persis seperti beberapa orang dalam hidupku.
Aku duduk di kursi rotan itu sekarang. Rotannya berderit pelan, mengeluarkan keluhan serak dari benda mati. Aku membiarkan selimut bintangnya menempel di bahuku. Tidak ada alasan spesifik. Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa lagi. Di dalam kepalaku, ada daftar hal-hal yang seharusnya dilakukan orang normal: mencuci piring, menelepon seseorang, membaca buku. Tapi tubuhku menolak semua perintah itu. Kadang, aku berpikir, begini saja sudah cukup: duduk, diam, membiarkan dunia berputar dan molekul-molekul udara bergerak di sekitarku tanpa perlu campur tangan.
Kadang kami hanya mendengarkan musik dari pemutar piringan hitam tua. Ryuichi Sakamoto, biasanya. Nada-nada pianonya terdengar seperti hujan yang jatuh di dalam kepala—pelan, jernih, yang tak ingin berkesudahan. Kami akan duduk, masing-masing dengan cangkir kopi, mendengarkan malam. Ada sesuatu yang aneh tentang malam: ia tidak menghakimi. Ia tidak hangat, tidak juga dingin. Ia hanya ada, menjadi kanvas kosong yang luas. Seperti diriku.
Sekarang, yang tersisa hanyalah suara derit kursi dan sisa kopi di cangkirku yang sudah berubah menjadi cairan pahit dan dingin. Sesekali, aku mendengar suara langkah pelan dari arah dapur. Refleks, kepalaku menoleh, mataku menyapu kegelapan. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Mungkin hanya tikus yang sedang melakukan patroli malamnya. Atau mungkin, itu hanya sepotong gaung dari kenangan yang tersesat di dalam rumah ini, yang tak bisa menemukan jalan keluarnya.
Ada bagian dari diriku yang sangat logis, bagian yang membaca berita pagi dan membayar tagihan tepat waktu. Bagian ini tahu dengan kepastian matematis bahwa dia tidak akan pernah kembali. Pintu itu tidak akan terbuka dan menampakkan sosoknya. Tapi ada bagian lain dari diriku—bagian yang sama yang menyukai musik instrumental, yang bisa menatap seekor kucing selama sepuluh menit tanpa berkedip, dan membaca ulang The Great Gatsby berkali-kali—bagian ini diam-diam masih menunggu. Seperti seorang operator radio amatir yang terus memutar kenop frekuensi, berharap menangkap siaran dari stasiun yang sudah berhenti mengudara sejak bertahun-tahun lalu.
Tiba-tiba telepon di ruang tengah berdering, memecah keheningan dengan kasar. Suaranya terdengar asing, menyerupai alarm dari dimensi lain. Aku berjalan masuk, mengangkat gagangnya.
“Halo?” Hening. Tidak ada jawaban. Hanya suara statis yang berdesis, terdengar seperti suara ombak yang pecah di pantai yang sangat jauh. Aku menunggu beberapa detik lagi sebelum meletakkan gagangnya kembali. Aku tidak merasa takut atau penasaran. Rasanya itu adalah bagian yang wajar dari malam ini. Panggilan telepon dari ketiadaan.
Aku kembali ke beranda dan memeluk selimut itu lebih erat. Bukan karena udara yang semakin dingin. Tapi karena tubuh ini, dalam kesendiriannya, tidak punya hal lain yang bisa dipeluk. Aku tidak sedang menangis. Tidak ada air mata yang jatuh. Tapi mataku terasa berat, seperti langit kelabu yang dipenuhi awan hujan tapi terlalu malas untuk benar-benar menumpahkannya ke bumi.
Dan pada saat itulah aku menyadarinya. Kesedihan ternyata tidak selalu datang dalam bentuk badai, dengan jeritan atau air mata yang deras. Kadang, ia datang tanpa suara. Ia hanya duduk di sampingmu di kursi rotan yang berderit, diam, lalu pelan-pelan, tanpa kau sadari, ia mulai menggantikan segalanya. Mengisi setiap ruang kosong di dalam rumah, di dalam dirimu, sampai tidak ada lagi yang tersisa selain kehadirannya yang sunyi.