Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suamiku, Rano. Nama itu dulu begitu lekat dengan getar bahagia. Sekarang hanya gema luka yang mengendap dalam dada. Ia terlalu sering mematahkan kepercayaan dalam pernikahan. Ia tak pernah berhenti selingkuh, dan anehnya, aku selalu memaafkan.
"Aku khilaf. Aku janji ini yang terakhir." Begitu ucapnya. Syahdu. Terdengar menyakinkan, dan seakan penuh penyesalan. Aku pun menelannya lagi. Percaya. Terdoktrin kalimat-kalimatnya. Berharap “maafku” mampu menjadi hujan yang memadamkan kebakaran hutan. Nyatanya, hanya gerimis kecil yang bahkan tak mampu meredam asap.
Aku memilih bertahan. Bukan karena takut sendiri. Melainkan karena aku pernah bersumpah, hanya akan menikah satu kali seumur hidup. Mungkin ini hanya fase. Mungkin cinta bisa tumbuh lagi jika disiram kesabaran. Sayangnya, setiap helai maaf yang kulempar, hanya jatuh di tanah beku. Tak bertunas apa-apa.
Di lain sisi, aku selalu berpikir bahwa bercerai atau bersamanya sama saja. Mungkin karena aku terlalu sering memaafkan, hingga lupa caranya meninggalkan. Mungkin demi anakku, Rafa.
Pagi ini, aku mengantarnya sampai ke pagar. Suamiku menaiki taksi menuju bandara, menyeret koper dengan teguh. Ia berkata, “Hanya seminggu. Dinas biasa.”
Aku mencoba menempatkan diri sebaik mungkin. Tidak curiga. Tidak bertanya.
Setelah ia pergi, barulah keganjilan menyusup ke dalam rumah. Terlalu rapi. Terlalu sunyi. Aku duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang tak kusentuh.
Dinas? Entahlah. Aku tak mau memikirkan ia akan bercumbu dengan perempuan lain, tetapi bayangan itu menggerogoti. Masuk melalui celah-celah ventilasi. Sudah terlampau sering.
Aku sibukkan diri dengan memasak, mencuci, membereskan lemari, menyiram bunga, membuka-buka galeri ponsel. Namun, resah tak juga luruh. Kegelisahan mengendap, menjelma dalam bentuk-bentuk pengkhianatan yang begitu familiar., menyelubungi segala kegiatan yang kulakukan.
Siang pun merayap sangat lambat dan menyiksa. Waktu berjalan seperti enggan.
Tiba-tiba, Dewi, sahabatku, menelepon. Suaranya terhantar cukup gugup.
“Nes, aku nggak tahu kamu siap dengar ini atau nggak, tapi aku lihat Rano di daerah rumah sepupu aku. Barusan. Dia lagi bantu pemasangan tenda, kayak buat acara hajatan. Tapi dia akrab banget sama seorang perempuan.”
Biasanya, aku akan menyangkal. Aku akan bilang orang itu mungkin hanya mirip dengan suamiku, meski aku tahu Dewi—atau siapa pun—pasti memvalidasi dahulu sebelum lapor kepadaku. Akan tetapi, kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya, aku ingin melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya.
Aku pergi ke sana. Jantungku bagai dihantam palu tiap kali roda motor melewati lubang.
Setiba di depan rumah itu, aku melihat Rano bercengkerama dengan banyak orang. Hangat. Ia bak sudah menyatu secara utuh dengan suasana.
Kutarik napas dalam-dalam. Melawan tubuh yang menggigil dan membendung air mata yang menyedak keluar.
Tenang. Tak boleh menciptakan keributan.
Aku tata diriku sebaik mungkin sebelum melangkah lebih dalam. Kukumandangkan salam dengan sopan.
Rano menoleh. Ia terlihat begitu terkejut.
Aku mendekat ke sisinya. Seorang perempuan muda lalu muncul, membentengi jarak. Ia cantik, segar, dan tampak lugu. Ia memandangku bingung.
"Saya Indah," ucapnya sambil tersenyum canggung. "Mbak siapa dan ada perlu apa, ya?"
Aku mengambil jeda sesaat.
"Saya istri dari pria di sampingmu. Ibu dari anaknya,” jelasku. “Bisa kita bicara sebentar?"
Indah tertegun. Ia menatap tajam kepada Rano, mencari kepastian.
Rano hanya diam. Tak menolak. Tak mengiyakan. Diamnya adalah pengakuan dua kubu.
Hening menggantung cukup lama, sebelum akhirnya Indah mengajak ke sudut yang sepi. Hanya ada kami bertiga.
“Maaf, mbak. Saya... saya nggak tahu kalau Mas Rano masih punya istri,” ujar Indah, panik.
“Dia bilang ke kamu kalau dia duda?” tanyaku.
Perempuan itu mengangguk. “Kami akan menikah lusa. Keluarga kami sudah saling mengenal. Kami sudah bertunangan tiga bulan lalu.”
Duda? Keluarga sudah saling mengenal?
Aku tertawa dengan tombak menancap di ulu hati. Daging tersayat, tetapi tak berdarah. Perih menganga, menadah derita—lagi dan lagi. Mungkin, selama ini aku dianggap tak pernah ada atau sudah mati.
"Iya. Saya percaya. Kamu kelihatan jujur." Aku bicara dengan suara yang patah, karena batinku sudah lebih dulu ditumbuk oleh kebohongan demi kebohongan yang diberi nama cinta.”
Sementara itu, pria yang katanya akan ke bandara, dari tadi terus membisu. Tak melakukan apa pun untuk menengahi percakapan ini. Sungguh. Aku ingin menamparnya, memakinya sekuat tenaga. Namun, untuk apa?
"Saya sangat mencintai Mas Rano," sambungnya. "Saya akan tetap menikah dengannya. Meskipun saya jadi yang kedua."
Entah janji-janji apa yang pria itu tiupkan kepada gadis muda ini. Ataukah keduanya benar saling mencintai, dan aku memang ingin disisihkan sejak dulu? Setidaknya, aku tahu banyak tentang pria itu.
“Jangan terlalu mencintai seseorang,” kataku pelan. “Aku tak mau kamu sepertiku.”
Pria itu berdiri. Matanya menyipit. "Pulang! Jangan bikin malu! Kita bicara di rumah.”
Aku mengerutkan kening. “Kamu mau nikah lagi? Tanpa menyelesaikan pernikahan kita? Aku telah salah menaruh harapan. Khilaf seharusnya tidak berulang terus-menerus.”
“Aku bilang, kita bicara di rumah!” Ia membentak, dan mendorongku.
Tubuhku oleng. Tersungkur.
Indah buru-buru menolongku. Tangannya gemetar. “Mbak nggak apa-apa?”
Aku menepis tangannya perlahan. “Terima kasih! Semuanya sudah cukup bagiku.”
Aku pulang. Membawa nestapa. Genggaman terasa rapuh mengendalikan laju motor.
Di perjalanan, aku menangis. Tanpa suara. Air mata mengalir tanpa isak. Lelahku sudah tak bisa dirangkul dengan logika.
Saat tiba di rumah. Ponselku bergetar. Beberapa pesan masuk dan beberapa panggilan tak terjawab.
“Bu Ines, Rafa tumben belum dijemput,” ucap wali kelas anakku di ujung telepon.
Aku lupa. Pikiranku terberai ke berbagai arah.
***
Sore menjelang malam. Langit menggantung seakan tak ingin jatuh. Aku masuk ke kamar Rafa, mendekapnya erat-erat.
“Mama kenapa?” tanyanya.
Aku tersenyum tipis sembari mengusap dahinya. “Kalau kita hidup berdua aja, kamu nggak apa-apa, kan? Hanya ada kamu dan Mama.”
Rafa mengangguk. “Selama sama Mama, dan Mama bahagia, aku ikut Mama,” jawabnya tegas, seolah ia membaca semua yang terjadi kepadaku dan yang menyelimuti rumah ini.
Kami bercanda kecil, seperti biasa. Makan malam, dan menemaninya belajar.
Ia tertidur dalam pelukanku. Napasnya tenang, wajah polosnya mengalirkan kekuatan besar. Aku harus memilih, tak bisa lagi berkata bahwa semua sama saja.
Aku bangkit. Mengunci pintu kamar. Setelahnya, berbaring kembali di samping anakku tercinta.
Dari luar, kudengar suara pria itu terus memanggil. Lembut. Penuh nada rayuan. Manipulatif.
“Sayang, ayo kita bicara. Aku salah, ya? Bukain pintunya, Sayang. Aku mohon.”
Aku tak menjawab. Tidak bergerak. Membiarkan suaranya terus bergema, mengetuk-ngetuk pintu dan nurani. Aku sudah menutup semuanya—pintu, telinga, dan hati.
Di benakku, ia sedang pergi dinas di rumah perempuan lain. Selamanya.