Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Begitu tangannya memutar stang setelah kunci T dibenamkan ke lubang kunci, Nurali merasakan sesuatu yang hangat di pelipisnya. Darah!
Ia menjerit, tapi ditahan dengan telapak tangannya. Ia takut darah. Sementara itu, sepeda motor curiannya oleng dan terjatuh. Zumari yang sedang menunggu di atas sepeda motornya kebingungan.
"Ada apa?" tanyanya pelan, melihat Nurali menutup mulut dan dahinya bersamaan dan langsung melompat cepat ke atas jok.
Suasana sekitar gelap, sehingga tak terlihat jelas bahwa Nurali mengalami pendarahan.
***
“Di mana kejadiannya, sampai kepala Bapak bocor kena paku? Apa Bapak tukang?”
Nurali jelas tidak mungkin jujur menjawab iya — spesialis tukang bobol sepeda motor. Jadi ia memilih pura-pura mengerang kesakitan.
“Punya BPJS? Ini harus operasi. Pakunya terlalu dalam bisa tetanus,” ujar perawat puskesmas, menyerah setelah melihat bekas luka dan ujung paku yang tertanam sedikit masuk ke batok kepala.
Nurali mengaduh, sementara Zumari — meski berbadan kekar, tapi sedikit lemot — malah seperti orang menahan kencing. Ia cuma bisa menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Ada BPJS-nya? Ini harus dirujuk ke rumah sakit,” kata perawat kemudian.
Nurali menggeleng. Begitu juga Zumari.
“Jadi, bagaimana?”
“Apa bisa dicabut saja disini?”
“Bisa.”
Nurali sedikit tersenyum.
“Tapi kami tidak mau main-main dengan nyawa orang. Saya bukan dokter, dan ini cuma puskesmas, hanya tersedia gunting dan tang forsep buat cabut gigi.”
Senyum Nurali lenyap. Gara-gara sepeda motor curian tanpa surat yang di tukang tadah cuma dihargai lima ratus ribuan, sekarang dia harus membayar setidaknya sepuluh atau mungkin dua puluh juta untuk operasi mengeluarkan paku dari kepalanya dan biaya obat lainnya. Itu dosa, karma yang harus ditanggungnya.
Melaporkan kejadian lengkap dengan TKP-nya? Jelas seperti bunuh diri. Itu sama saja membongkar borok, riwayatnya sebagai spesialis pembobol sepeda motor.
Di kampungnya, dia ketua pemuda yang dikenal bersih tanpa cemar. Menjauhi narkoba, dan tindak kejahatan.
Sementara sekarang, dirinya sendiri baru saja merencanakan pencurian karena sedang ketagihan cimeng. Itulah sebabnya dia masih bisa menahan sakit, layaknya memakai dibius.
***
Seorang pasien lain masuk — polisi berseragam lengkap — tiba-tiba masuk dengan luka berdarah di pahanya. Nurali panik. Zumari apalagi, ia alergi dengan seragam polisi.
Keringat dingin mengucur.
Perawat merasa heran, karena ruangan ber-AC.
"Kalian kenapa?"
Keduanya menggeleng.
Si polisi melihat ke arah mereka. Mereka langsung pucat.
"Kenapa, Mbak, dia?"
"Anu, Mas Polisi... Kepalanya, sepertinya, kena paku."
"Paku?"
"Dia tukang?"
"Katanya sih bukan."
"Jadi pakunya dari mana?"
"Entah."
"Tunggu dulu, jangan-jangan..."
Polisi itu menatap keduanya dengan saksama.
"Kalian tadi dari mana?"
Mereka diam.
"Ditanya dari mana, diam."
"Anu, Pak... Dusun Jambolaya?"
"Jambolaya? Sebentar."
Polisi itu menelepon, sementara perawat terus merawat lukanya.
“Dur, sepeda motormu hilang?”
“Enggak. Tapi stangnya dirusak orang. Aku gertak dengan satu tembakan asal-asalan, mereka kabur.”
“Dua orang?”
“Kok tahu?”
“Ini ada pasien di puskesmas. Kepalanya bocor.”
“Berarti kena kepalanya?. Mati aku!” teriak Dursason panik dari seberang telepon.
“Kamu bisa kena pasal pidana kalau dia sampai mati.”
Tut... tut... Telepon diputus.
Zumari berkeringat dingin. Sementara Nurali sudah sejak tadi pingsan. Darah terus mengucur, menunggu ambulans yang akan membawanya ke rumah sakit.