Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah instansi yang namanya terlalu panjang untuk diingat dan terlalu rumit untuk dijelaskan, terkenal karena prestasi, penghargaan, dan... drama internalnya, duduklah dua perempuan hebat di pucuk pimpinan.
Yang satu, Kepala Instansi, biasa disapa Bu N1—seorang pemimpin flamboyan, berenergi tinggi, dan dikenal punya range emosi seluas samudra pasifik.
Beliau adalah seorang manusia kompleks: perpaduan antara petasan banting, karaoke dangdut, dan film horor low budget. Mood-nya bisa berubah dalam waktu tiga detik. Pagi bisa terbahak-bahak karena melihat meme kucing, siangnya bisa membanting map hanya karena font laporan salah satu poin-nya pakai Smiley.
Yang satunya lagi, Wakil Kepala, adalah Bu N2—dikenal seluruh kantor sebagai “Badut No. 2”, bukan karena tak berprestasi, tapi karena keahliannya dalam menyelamatkan situasi dengan lawakan, ilusi optik, dan kecepatan refleks tingkat ninja.
Ada juga bisik-bisik penuh simpati menyebut N2 sebagai “Korban Kedua.”
Kenapa kedua?
Karena korban pertama jelas adalah logika.
Tapi jangan salah, Bu N1 ini punya dua mode utama:
1. Mood "Bu Malaikat": Baik, suka traktir mie, kadang joget tiktok bareng staf.
2. Mood"Bu Neraka": Marah karena Wi-Fi lemot dan menuduh pegawai sengaja menyabotase kerjaannya.
“INI SIAPA YANG NONTON NETFLIX PAKAI WIFI INSTANSI?! APAKAH ITU KAU, BU N2?!”
Bu N2 langsung berdiri dengan ekspresi mengiba. “Iya, Bu. Tapi saya nonton Rumah Tetangga buat belajar kepemimpinan…”
Semua staf: 😶👏🏼
Padahal boro-boro menonton, seluruh beban seakan tumpah ruah di pundak Badut Kedua. N1 mah tinggal nyalahin.
Bu N1 dikenal sebagai pemimpin karismatik dengan kepribadian selembut sabun cuci piring... kalau belum menyentuh ego. Bisa tertawa terbahak karena video kucing joget, lalu lima menit kemudian menggebrak meja karena laporan staf pakai Comic Sans.
"Comic Sans?! APA AKU TERLIHAT SEPERTI SESEORANG YANG BISA DIANGGAP SANTAI?! AKU PIMPINAN! PIMPINAN!!!!”
Staf berkeringat dingin.
“Eee...,” ujar si staf sambil membeku. Matanya
melirik-lirik cepat, memindai keberadaan seseorang yang diperlukan tiap ada kondisi emergensi semacam ini.
“YA KALAU BEGITU BIKIN SEKALIAN AJA PAKAI WEBDING!”
Di saat itulah, muncullah Badut No. 2, dengan
wajah sumringah dan—entah kenapa—pakai topi ulang tahun.
“Waaah, ini laporan atau undangan pesta? Hahaha! N1 kita ini memang teliti banget! Hebat!”
“Bu,” desis si staf dengan wajah pucat.
“Tenang, tenang. Saya sudah biasa. Yuk, kita balik ke laptop!” Begitulan Badut No 2 mengalihkan situasi. Langkahnya cepat menyeret si staf keluar ruangan.
Setiap hari adalah panggung sirkus. N1 bisa tiba-tiba menuntut seluruh pegawai menggunakan warna baju yang "matching dengan suasana hati saya," tanpa memberi tahu suasana hatinya apa.
Alhasil, semua staf jadi kayak pelangi gagal.
N1: “Kenapa kamu pakai biru?”
Staf: “Saya kira Ibu sedang mellow.”
N1: “SAYA LAGI MERAH MENYALA, BUKAN MELANKOLIS! KELUAR!”
Dan lagi-lagi, muncul Badut Kedua, dengan kipas tangan dan peluit mainan.
“Tenang, tenang! Mari kita ganti jadi senam
peregangan sambil nyanyi lagu wajib nasional! Yuk, ikuti saya: Demi apa hidup
harus segila ini, demi apa senyummu harus membawa ancaman sedahsyat ini."
“STOP! Lagu nasional apa macam itu?”
Si Badut Kedua tersenyum lebar sambil beringsut mundur, dan di luar ruangan menggelegar tawa.
Badut kedua sudah mencoba segalanya. Dari
membawakan stand-up comedy dadakan, sulap pakai kertas laporan, sampai menyamar
jadi cleaning service demi meredakan amukan.
Puncaknya adalah ketika N1 marah besar karena melihat ada email masuk pukul 23.59.
“SIAPA INI YANG KIRIM EMAIL TENGAH MALAM?! AKU
JADI NGERASA GAK PUNYA PRIVASI!”
Staf nyaris pingsan.
Tiba-tiba Bu N2 datang membawa lilin dan
mengenakan jubah.
“Bu, kami hanya berusaha jadi staf berdedikasi.
Tapi kadang kami lupa: manusia butuh tidur, bukan notifikasi. Mari kita tiup lilin ini... demi kesehatan mental kita bersama.”
Semua tertawa.
Termasuk N1.
Sampai satu menit kemudian.
“Eh, kamu ngeledek aku ya?”
Badut kedua pura-pura tak mendengar, malah sibuk mencomot seblak N1 lalu pura-pura kepedasan dan berlari keluar. Sungguh gila.
Tapi hidup sebagai Badut No. 2 tidak mudah. Pernah suatu hari, karena panik menghadapi amukan Bu N1 yang mendapati file-nya terhapus (padahal belum disimpan), Bu N2 datang ke ruang pimpinan... pakai kostum panda.
“Bu, kalau marah terlalu sering, nanti cepat
keriput. Lihat saya. Zen. Hitam putih. Isi adalah kosong, kosong adalah isi.”
Bu N1 bengong.
Lalu ketawa.
Tiga detik kemudian nangis.
Lalu ketawa lagi.
Ruang itu akhirnya disebut Ruang Serba Salah oleh para staf.
Suatu hari, menjelang rapat tahunan, Badut Kedua cek sound sebelum dimulai. Ia naik panggung dengan hidung badut dan wig
pelangi. Semua tertawa, Badut kedua mulai bicara:
“Teman-teman, di balik tawa dan candaku, tersimpan luka mendalam. Seperti badut sirkus yang selalu tersenyum walau hatinya bolong.
Aku bukan hanya No. 2. Aku adalah lem yang menyatukan meja goyang ini. Kalau aku tak ada... kalian semua mungkin sudah jadi bubur emosi sejak dulu!”
Seketika hening.
Lalu semua tepuk tangan.
N1 masuk tiba-tiba, matanya berkaca-kaca.
“Kamu... ternyata puitis juga ya, Bu...”
Badut Kedua tersenyum, lalu membungkuk hormat.
“Terima kasih, Bu. Tapi saya mohon, jangan meleduk lagi kalau email saya typo.”
Akhirnya, sejak hari itu, N1 agak lebih tenang.
Setidaknya, dia cuma ngamuk dua kali sehari.
Dan Badut kedua?
Tetap jadi badut.
Tapi sekarang, ia bangga.
Karena kadang, demi menjaga sirkus tetap jalan, seseorang memang harus bersedia jadi yang terlucu... dan terluka. (Karena keesokan hartinya, dosis marah N1 kembali bertambah, dua jam sekali.)
Kini, Bu N2 makin terkenal.
Orang luar tahunya dia itu pejabat elegan. Tapi
orang dalam tahu: dia adalah tembok penahan tsunami emosi, pelawak tanpa panggung, dan HRD tidak resmi.
Dan ketika seorang staf baru bertanya, “Kenapa Bu Wakil sering dibilang Badut?”
Seorang senior menjawab, “Karena hanya badut yang bisa membuat kita ketawa... meski kantor ini terasa seperti sirkus tanpa pagar.”
Badut No. 2.
Pejabat paling waras di antara yang katanya
profesional.
Dan tanpa dia, kantor itu mungkin sudah meledak
karena ego—atau meleleh karena drama.