Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejak kecil aku tahu ada sesuatu yang tidak beres denganku. Bukan karena aku merasa diriku aneh, melainkan karena semua orang di rumah ini menganggapku demikian. Mereka tidak pernah mengatakan dengan jelas, tidak pernah mengutuk secara terang-terangan. Namun, tatapan itu, nada bicara yang selalu naik satu oktaf ketika menyebut namaku, diam yang menjatuhkan lebih dari kata-kata—semuanya seperti seragam dalam menyampaikan satu hal, bahwa aku bukan bagian dari mereka.
Aku anak tengah. Kakakku, Sandi, dua tahun lebih tua, atletis, supel, kesayangan Ayah. Adikku, Rara, empat tahun lebih muda, manja, lincah, permata Ibu. Aku di antara mereka dengan sepi yang merantai hari. Tidak menonjol, tidak pula cukup lemah untuk dilindungi. Aku ibarat tembok yang membatasi ruang tanpa pernah dilihat.
Aku tumbuh dengan rasa bersalah yang bukan milikku. Jika Sandi bertengkar di sekolah, aku yang dilarang bermain. Jika Rara memecahkan gelas, aku yang ditampar karena dianggap tidak mengawasinya. Bahkan ketika aku menggengam kesendirian, hening di dalam kamar, Ibu akan berteriak, “Jadi anak males banget, sih. Nggak ada pengin bantuan kerjaan orang tua sama sekali.”
Padahal, aku sudah selesai mencuci piring, menyapu, dan mengepel. Entah mengapa selalu salah dan kurang.
Setiap hembusan napasku seakan memiliki harga yang harus dibayar. Oleh materi dan mental.
Diamku dianggap sebagai pembangkangan. Tidak pernah dilihat dari sisi yang lebih dalam, bahwa aku sedang melindungi diriku. Bukan dari mereka, tetapi dari rasa benci yang perlahan tumbuh dari perlakuan yang tak pernah adil.
Terkadang, aku merasa tubuhku mengeluarkan kabut. Dingin. Mencekam. Kabut yang membuat mereka menjauh, tak betah terlalu lama di ruangan yang sama denganku. Bahkan anjing tetangga pun menggonggong hanya kepadaku.
Seorang guru agama pernah memegang pundakku dan bergumam, “Kamu harus lebih sering ikut kajian. Wajahmu terlalu kosong.”
Kekosongan dalam diriku bukan sesuatu yang kubawa sejak lahir. Itu terbentuk dari hari-hari yang mengasingkan, yang memusuhiku tiada henti, tanpa aku tak mengerti letak salahku—dan semakin aku mencari tahu, semakin aku tidak tahu.
Waktu usiaku empat belas, Ayah membanting lukisanku yang kutaruh di ruang tamu. Lukisan pohon, tanpa daun, berdiri di tengah padang yang sepi.
“Apa ini? Kamu udah gila? Pake ngelukis gambar setan segala,” katanya sambil melempar bara ke wajahku.
Padahal, itu bukan setan, melainkan diriku. Siluet kesedihan yang mengiba jawaban pada nasib. Aku ingin menjelaskan, tetapi tak ada gunanya. Ayah sudah lebih dulu memberikan kesimpulan yang menghakimi.
Hal yang tak pernah bisa kumengerti adalah bagaimana kebencian bisa menular tanpa alasan. Rara pernah kepergok mencuri makanan di warung tetangga. Dia bilang bahwa aku yang menyuruhnya.
Aku yang baru pulang bermain bola dengan teman-teman, langsung disambut oleh cambukan sabuk Ayah. Keras. Menghantam. Mengiris. Menyisakan garis-garis merah di kulitku.
Akhirnya, aku pun mulai percaya: mungkin aku memang sesuatu yang salah. Aku penyebab segala kebisingan yang mengusik hidup mereka. Makhluk jahat, bagi mereka, bukan yang bermata merah atau bertaring. Seseorang yang bisu saat harus menangis, atau bertahan saat seharusnya tumbang. Mereka ingin aku pecah agar mereka bisa merasa lega bahwa yang mereka siksa memang rapuh.
Lalu, suatu malam, aku melihatnya.
Bukan bayangan. Bukan roh. Namun, sosokku di cermin. Berdiri kaku, mata cekung, bibir kering, kulit pucat seperti langit sebelum hujan. Aku tatap lebih lama, dan aku sadar: inilah makhluk yang mereka bicarakan. Sosok tak tahu diri yang sudah kehilangan bentuk manusia yang bisa mereka kenali. Aku telah menjelma menjadi simbol dari semua yang ingin mereka lampiaskan.
Ironisnya, sekarang, aku yang menghidupi rumah ini. Aku memilih bertahan, meski pintu keluar untuk pergi terbuka. Berharap bisa memperbaiki satu hal, yaitu kehadiranku.
Ayah sudah pensiun. Duduk di sofa dari pagi sampai sore, menatap televisi dengan volume keras seolah tengah meredam realita. Kak Sandi, yang dulu dielu-elukan, justru sibuk “membangun bisnis”. Sebuah kamuflase yang artinya berjudi online dengan uang pensiun Ayah.
Aku pernah coba menyampaikan itu kepada Ibu dan Ayah. Pelan, sopan, lengkap dengan bukti tangkapan layar dan logika. Apa tanggapannya? Aku malah dimarahi habis-habisan.
“Kenapa kamu selalu menjelek-jelekkan saudara sendiri?” ucap Ibu, matanya menyala. “Dari dulu kamu emang nggak pernah suka sama kakakmu.”
“Dia itu sedang berjuang. Kamu pikir gampang hidup di zaman sekarang?” Ayah menimpali, suaranya memukulku dari dalam.
Mereka membela Kak Sandi seperti nabi yang dikhianati. Lalu, biasa, peran jahat jatuh padaku. Lagi.
Aku coba lakukan pendekatan langsung kepada kakakku, menegurnya baik-baik. Namun, dia justru memainkan nada suaranya.
“Kamu tuh sebenarnya benci aku dari dulu, kan? Kamu nggak suka uang pensiun Ayah aku pakai. Kamu iri sama aku, kan? Lihat saja nanti kalau aku sudah kaya!” Ucapannya seolah gabungan semua suara sumbang di dalam rumah.
Aku tetap menjadi tokoh antagonis. Tak peduli seberapa pun aku berusaha untuk dilihat baik.
Rara, tak jauh berbeda. Dia hanya menyapaku ketika perlu uang. Tidak pernah bertanya kabarku, apalagi mengucap terima kasih. Jika aku tak bisa memenuhi nominal permintaannya, dia akan mengancam.
“Aku bisa nyolong uang orang kalau kamu pelit, nggak mau ngasih,” ucapnya tanpa ragu, seolah logikanya sempurna.
Malam-malam selalu terasa panjang dan senyap. Aku duduk di kamar yang masih sempit sejak aku kecil, walau kini dipenuhi tagihan dan catatan pengeluaran. Tak ada yang berubah, kecuali tubuhku yang menua lebih cepat karena beban yang kian menghimpit.
Aku coba bangkit, merapat ke depan cermin. Sudah sekian lama aku tidak melihat refleksiku. Ternyata, masih sama: mata cekung, kulit pucat, dengan tambahan kantung mata yang dalam dan rahang yang selalu menegang. Namun, ada yang berbeda.
Aku perhatikan lebih saksama, dan kurasakan sesuatu mengembang di dadaku. Bukan amarah. Bukan dendam. Belas kasih untuk diriku sendiri.
Selama ini aku terlalu sibuk membuktikan aku bukan makhluk jahat. Terlalu sibuk menyangkal bentuk yang mereka tempelkan padaku. Malam ini aku sadar bahwa aku tidak perlu menjadi manusia di mata orang-orang yang enggan menatapku.
Kurebahkan badan sambil menghitung bercak di plafon. Ia ibarat ceplakan luka yang tak pernah sembuh dan selesai.
Dalam mereka cerita, aku sudah buntu. Musuh utama yang dibiarkan tetap hidup agar mereka terlihat penuh welas asih.
Anehnya, aku menerimanya. Aku adalah setan yang menghasut perasaanku sendiri. Perasaan bodoh yang berpikir bisa mengubah neraka menjadi surga.
Gelap membelai, kupejamkan mata dalam sunyi yang menggigil. Mungkin sudah waktunya aku berkata cukup.
Aku tidak tahu kapan aku bisa pergi. Namun, pada akhirnya, aku akan.