Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak ingat kapan terakhir kali Ibu bicara, tetapi aku ingat malam ketika pohon itu tumbuh dari ubun-ubunnya.
Semula hanya mimpi. Dalam mimpi tersebut, Ibu duduk di kursi rotan warisan nenek, tangannya terlipat kaku di pangkuan, matanya kosong menatap langit-langit. Rambutnya mengerut seperti tanah retak, lalu perlahan merekah. Dari celah yang menyeringai, tunas mungil muncul. Segar. Hijau. Hidup.
Aku terbangun dengan jantung menggedor. Masih dini hari.
Ibu masih di sana, duduk di kursi yang sama. Tidak bergerak. Rambutnya tampak lebih lebat dari biasanya. Lebih kusut. Lebih liar.
Pagi harinya, aku menyisir rambut Ibu. Ia tak melawan, tak bereaksi. Tanganku menyusuri helai-helai panjang yang mulai bercampur uban. Lalu, aku merasakan sesuatu. Ada benjolan kecil di bawah kulit kepalanya. Keras. Nyaris tak melawan saat kutekan.
Aku coba memijat pelan, tetapi Ibu mengerang lirih. Aku menarik sisir yang tersangkut sesuatu. Sehelai akar tipis menempel di gigi-gigi sisir. Lembut. Namun, tegang seperti kawat.
Aku bilang ke Ayah, tetapi Ayah sudah lama mati.
***
Ayah meninggal tiga tahun lalu, jatuh dari loteng saat memperbaiki genting bocor. Waktu itu, kami baru tahu ternyata rumah ini dibangun di atas bekas lahan pemakaman tua. Ayah hanya tertawa, tanpa merasa ada hal yang perlu dikhawatirkan.
“Tanah di sini subur,” katanya. “Lahan bagus. Tumbuhan pasti berdiri rimbun.”
Ia tak pernah takut pada pendapat orang. Berbeda dengan Ibu.
Ibu mulai berubah setelah Ayah tiada. Ia lebih banyak diam. Lebih sering duduk di kursi rotan di dekat jendela, menghadap ke halaman belakang yang dikelilingi pagar bambu yang mulai keropos. Pandangannya hampa. Namun, kadang mengikuti sesuatu di udara, seakan ada yang berjalan pelan tanpa tubuh.
***
Tiga malam berikutnya, aku mulai mendengar suara-suara tak biasa. Awalnya hanya desis lembut, mirip akar bergesekan di balik papan. Lalu suara lembap dan berderak, seperti kayu dibelah dari dalam. Sesekali, kursi rotan bergoyang sendiri.
Anehnya, ketika aku mengintip, Ibu masih duduk diam. Matanya memicing ke sudut ruangan gelap. Seolah sedang mendengarkan. Atau menjawab sesuatu.
Aku coba menyibukkan diri. Membersihkan rumah, menulis, membaca buku tua. Sayangnya, gelap tetap menyusup, membawa dingin yang lengket.
Tiap kali surya menghilang, suara-suara itu pun kembali, bersama aroma tanah basah memenuhi ruang. Bukan aroma segar setelah hujan, melainkan aroma busuk dan manis dari daging yang pernah hidup lalu melebur ke tanah.
Aku temukan buku harian tua milik Ibu di laci lemari. Sampulnya lusuh. Isinya lebih ganjil dari dugaanku.
Bukan tulisan. Hanya gambar. Ratusan halaman dipenuhi coretan pensil berupa akar yang menjalar, bercabang, menyatu, membentuk sesuatu seperti peta. Di halaman terakhir, ada satu kalimat: "Tanah tak pernah lupa siapa yang dikubur di dalamnya."
Aku tak paham. Sampai aku bermimpi lagi.
Kali ini, Ibu bicara. Suaranya bak retakan batu. Dalam, lambat, dan menyakitkan untuk didengar.
"Akar itu bukan tumbuh. Ia cuma kembali ke tempat asal."
Mimpi itu menyiksaku selama seminggu penuh. Setiap kali terjaga, aku merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam lantai. Aku mulai mencatat mimpi-mimpi itu. Namun, tulisanku sendiri terasa tidak menyatu dengan diriku. Ada kata-kata yang tak pernah kupelajari, kalimat-kalimat yang terasa seperti disisipkan.
Aku mulai membaca ulang buku harian Ibu. Di sela-sela gambarnya, ada simbol samar. Bentuk tulang. Gigi. Tangan kecil. Tanda salib terbalik. Serta akar. Selalu akar.
Aku tahu ini harus segera diakhiri. Aku tak bisa membiarkannya tumbuh lebih jauh.
Malam itu, aku membawa gunting ke ruang depan. Ibu masih duduk di kursi rotan. Matanya terpejam. Napasnya sehalus sisa mimpi.
Aku duduk di belakangnya. Mengambil sisir. Menyusuri rambutnya. Mencari akar itu.
Saat kutemukan benjolannya, aku mulai memotong perlahan. Gunting menembus kulit kepala, dan Ibu menjerit. Bukan seperti manusia. Jeritnya seperti bumi yang merekah. Seperti bukit yang longsor. Seperti kuburan yang dibuka paksa.
Darah mengalir. Bukan merah, melainkan hitam. Kental. Bau jamur. Bau karat.
Dari dalam luka itu, akar-akar keluar, meliuk, menjalar ke lantai. Di dalamnya, ada sesuatu yang mengintip. Bukan mata, tetapi kekosongan. Lubang pekat. Menganga. Bagaikan liang kubur yang belum ditutup.
Aku mundur. Menangis. Napasku pendek. Suaraku tak ada.
Ibu tetap di kursinya. Tubuhnya tak lagi dikenali sebagai milik manusia.
***
Sudah berapa tahun sejak malam itu—aku tak tahu.
Kini, aku yang duduk di kursi rotan. Aku sudah lama tak bicara. Tak merasa perlu.
Aku bisa merasakan sesuatu tumbuh perlahan dari ubun-ubunku. Akar tipis, menjalar ke lantai, masuk ke celah-celah papan tua, mencari sesuatu. Daging lama. Ingatan lama.
Kadang, malam-malam, udara datang dan membawa suara. Semula kupikir itu hanya bisik-bisik angin. Rupanya bukan.
Itu suara orang-orang yang pernah dikubur. Dan mereka belum selesai berbicara.