Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Tanah yang Mengalir Emas, Tapi Menangis
Yohana, gadis berusia tujuh belas tahun, menggulung rambutnya yang hitam pekat lalu mengikatnya dengan potongan kain lusuh milik ibunya. Setiap pagi, ia menuruni lereng dengan ember bekas cat di tangan dan semangat yang dipaksa tetap menyala. Sungai di bawah sana bukan lagi tempat bermain seperti masa kecilnya dulu, tapi tempat mendulang emas—sebutir demi sebutir—yang menjadi harapan terakhir keluarganya.
Ayahnya, Leko, dulu adalah pekerja tambang rakyat. Lelaki kuat dengan dada bidang dan suara keras yang selalu mengisi malam dengan cerita legenda suku mereka. Tapi sejak longsor menimbunnya dua tahun lalu, ia tak lagi bisa berjalan. Kedua kakinya lumpuh, dan hanya bisa memandang langit dari ranjang bambu.
Bab 2: Sehari untuk Sebutir
Suatu siang, Yohana melihat Manasye, sahabat lamanya, berdiri diam di atas batu besar. Ia mengangkat ponsel dan memotret alat-alat berat tambang di kejauhan. Tak lama kemudian, dua pria berseragam mendatanginya. Ada teriakan. Ada dorongan. Lalu Manasye dibawa pergi.
"Kenapa? Hanya karena ambil gambar?" tanya Yohana ke seseorang. Tapi tak ada jawaban. Hanya sunyi dan rasa takut.
Hari itu, Yohana pulang dengan tangan kosong. Tapi malamnya, ia menyalakan lilin kecil dan mulai menulis di buku usang milik ayahnya. Ia menulis tentang sungai yang berubah jadi lumpur, tentang anak-anak yang putus sekolah, dan tentang sebutir emas yang tak sebanding dengan harga kemanusiaan.
Ia memberi judul tulisannya: Sebutir Harapan.
Bab 3: Darah di Atas Batu
Pagi itu, kabar tentang penangkapan Manasye menyebar seperti api di musim kemarau. Warga Wuninaga berkumpul di balai bambu, membicarakan kejadian yang semakin sering terjadi: penangkapan, pengusiran, bahkan ancaman senjata. Tapi tak ada yang berani melawan.
“Manasye hanya ambil gambar. Kenapa dia dibawa seperti penjahat?” seru salah satu pemuda. Namun suara-suara berani itu segera diredam oleh ketakutan yang sudah lama menancap dalam.
Yohana diam di sudut ruangan, memeluk buku catatannya. Ia merasa bersalah. Sehari sebelum kejadian, merekalah yang berdiskusi tentang bagaimana dunia harus tahu apa yang sedang terjadi di kampung mereka. Tapi hanya Manasye yang cukup berani bertindak.
Sore harinya, seekor burung gagak mati ditemukan tergantung di depan rumah kepala kampung. Tak ada yang tahu siapa pelakunya, tapi pesan itu jelas: siapa pun yang melawan, akan dibungkam.
Bab 4: Surat untuk Dunia
Namun, ketika cahaya dari luar mulai datang, gelap dari dalam juga menebal. Aparat datang ke kampung membawa daftar nama. Beberapa rumah diobrak-abrik. Radio komunitas disita. Relawan gereja ditahan karena tuduhan “provokasi.
Yohana menyembunyikan buku catatannya di bawah lantai bambu. Ia tahu, jika sampai ketahuan, ia akan dianggap musuh. Tapi malam itu, ayahnya memanggilnya pelan.
“Yohana, apa yang kamu tulis... dunia sudah baca,” bisiknya dengan napas pendek. “Teruskan, Nak. Jangan takut. Tulis bukan untuk menang... tapi untuk mengingatkan mereka yang lupa.”
Surat-surat Yohana diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh sukarelawan internasional. Kampanye daring diluncurkan. Petisi menuntut penghentian operasi tambang di tanah adat menyebar di media sosial.
Di tengah tekanan, Yohana berdiri di gereja yang mulai sepi. Ia mengambil mikrofon dan berkata dengan suara yang tenang namun mantap:
“Kita tak lagi sendiri. Dunia mulai mendengar. Ini bukan tentang emas... ini tentang hidup kita. Tanah ini milik kita. Kita punya hak untuk harapan.”
Dan malam itu, langit Wuninaga penuh bintang. Untuk pertama kalinya, langit tidak terasa menindas.
Bab 5: Saat Harapan Hampir Padam
Angin kering berembus membawa debu dan aroma terbakar. Beberapa rumah warga dibakar tanpa alasan yang jelas. Yang tersisa hanya abu dan trauma. Ayah Yohana makin lemah; batuknya disertai darah. Dokter tak berani datang ke kampung. Apotek pun tutup karena jalan diblokade aparat.
Yohana mencoba tetap kuat. Tapi tubuhnya mulai goyah. Ia mendulang di sungai sambil terbatuk, matanya perih oleh uap bahan kimia. Suatu hari, adik bungsunya, Pina, jatuh pingsan saat bermain di pinggir sungai. Air itu sudah terlalu kotor, dan tubuh kecil itu tak kuat lagi menahan racun.
“Kalau aku pergi, kamu harus teruskan cerita kita,” kata ayahnya dengan suara lirih. “Kamu adalah suara kami.”
Namun malam itu adalah malam terakhir ayahnya membuka mata. Di pagi harinya, Leko pergi dalam diam, membawa luka yang tak pernah sembuh.
Pemakaman dilakukan sederhana, hanya dengan doa dan tanah basah. Tapi sesuatu dalam diri Yohana berubah. Air matanya kering, tapi tatapannya lebih tajam. Ia tahu, ini bukan saatnya menangis. Ini saatnya berdiri.
Beberapa hari kemudian, seorang wartawan asing diam-diam masuk ke Wuninaga, menyamar sebagai sukarelawan. Ia membawa kamera kecil, merekam sungai yang rusak, anak-anak yang sakit, dan mural-mural di dinding. Ia mewawancarai Yohana, lalu berkata, “Dunia harus lihat ini dengan mata sendiri.”
Bab 6: Sekalipun Satu Butir
Beberapa minggu setelah kunjungan wartawan itu, dunia benar-benar menoleh. Video berdurasi tiga menit tentang Wuninaga viral di media sosial. Wajah-wajah anak yang sakit, air sungai beracun, dan suara Yohana yang penuh keteguhan menjadi sorotan dunia.
Tagar #SebutirHarapan muncul di mana-mana. Kampanye internasional digelar. Organisasi hak asasi manusia turun tangan. Pemerintah pusat akhirnya mengirim tim investigasi.
Perusahaan tambang itu, yang selama ini kebal dari hukum, tiba-tiba dipanggil ke Jakarta. Kontraknya ditinjau ulang. Beberapa pejabat lokal dicopot karena korupsi dan pelanggaran izin tambang. Media nasional mulai memberitakan penderitaan Papua bukan sebagai statistik, tapi sebagai kisah nyata manusia.
Namun Wuninaga belum pulih. Sungai masih butuh waktu untuk membersihkan diri. Anak-anak masih batuk, dan trauma masih menempel di dinding-dinding rumah.
Tapi kini, tidak ada lagi tentara di sekitar kampung. Tidak ada lagi suara alat berat menggerus tanah. Dan yang terpenting, warga Wuninaga mulai percaya bahwa suara mereka didengar.
Yohana diundang berbicara di konferensi HAM di Jakarta. Ia berdiri dengan pakaian adat, membawa secarik kertas yang telah lama ia tulis: