Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aksara dan Nara pernah seperti dua bintang yang menyala paling terang di langit Jogja. Mereka bertemu di bangku kuliah, bersahabat, jatuh cinta, lalu bermimpi menulis buku bersama. Tapi seperti kisah lama yang tak sempat selesai, mereka harus berpisah.
Bukan karena cinta yang hilang. Tapi karena dunia yang tak ramah.
Ayah Nara sakit keras, dan dia harus kembali ke kampung halamannya di Rote. Aksara menawarkan diri untuk ikut, tapi Nara menolak. “Kita harus berjalan sendiri dulu,” katanya sambil memaksakan senyum. Aksara merasa tertinggal, ditinggalkan—dan diam-diam, merasa dibuang.
Hubungan mereka membeku. Komunikasi pelan-pelan hilang, seperti warna dalam foto lama. Lima tahun berlalu.
Bab 2: Luka yang MengubahAksara sekarang seorang penulis sukses, tapi hatinya tetap kosong. Semua karyanya, meski best seller, terasa dingin. Ia selalu menulis tentang “kehilangan”, entah mengapa. Ia tahu jawabannya: karena ia belum bisa melepaskan Nara.
Suatu hari, ia mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah festival sastra di Nusa Tenggara Timur. Nama pulau tempat festival itu diadakan: Rote.
Awalnya ia menolak. Tapi malam itu, ia bermimpi tentang Nara. Bukan mimpi biasa. Nara menulis di sebuah pantai, dengan rambut diterpa angin, lalu menoleh padanya dan berkata,
“Jika kamu belum bisa menulis akhir cerita kita, temui aku di tempat cerita ini dimulai.”Aksara bangun dengan dada sesak. Itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah panggilan.
Bab 3: Pertemuan yang Tak DirancangIa tiba di Rote dengan tangan gemetar dan harapan yang samar. Ia tidak tahu harus mencari ke mana. Tapi keajaiban mulai bekerja dalam diam.
Di hari terakhir festival, ia berjalan sendirian ke pantai. Di sana, duduk seorang perempuan dengan buku catatan di pangkuan. Rambutnya ditiup angin sore.
Aksara berhenti. Ia mengenal punggung itu. Napasnya tercekat.
“Nara?”
Perempuan itu menoleh.
Air mata mereka turun bersamaan. Tak ada pelukan, tak ada pelarian. Hanya dua orang yang berdiri diam dalam badai rasa yang lama tertahan. Waktu berhenti, dan dunia menjadi sunyi.
Bab 4: Kata yang Tak Pernah HilangMereka bicara sepanjang malam di bawah bintang. Tentang luka, tentang kecewa, tentang hidup yang tak adil, tapi juga tentang harapan. Nara bercerita tentang kesepiannya, tentang kehilangan ayahnya, dan tentang penyesalan yang tiap malam menghantuinya karena meninggalkan Aksara tanpa kepastian.
Aksara hanya menggenggam tangannya dan berkata,
“Cinta kita tidak hilang. Ia hanya tertidur lama. Dan sekarang... ia bangun.”Epilog: Keajaiban Itu Bernama PulangBeberapa bulan kemudian, buku pertama mereka terbit. Judulnya:
“Pulang Ke Kamu.”
Tak seorang pun tahu bagaimana dua orang yang pernah saling kehilangan bisa kembali dan menulis kisah cinta yang paling menyentuh tahun itu. Mereka hanya menyebutnya: keajaiban.
Karena memang begitu adanya.
Kadang, cinta tak butuh logika. Ia hanya butuh waktu… dan sedikit keajaiban.