Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku terbangun di sebuah ruang yang asing. Lampunya remang, kursi-kursi plastik berderet seperti ruang tunggu bandara atau rumah sakit. Namun, tak ada papan informasi, tak ada suara pengumuman, bahkan tak ada jam yang berdetak.
Semuanya… hening.
Semuanya… menunggu.
Aku mengedarkan pandangan. Di sekelilingku, orang-orang duduk dengan wajah pucat dan mata kosong. Sebagian memeluk lutut, sebagian memejamkan mata seolah ingin tidur, tetapi aku tahu, tak ada tidur di sini.
Seorang perempuan tua di sebelahku menatap lurus ke depan. Bibirnya bergerak-gerak, entah sedang berdoa atau berbicara pada dirinya sendiri. Di sisi lain, seorang lelaki muda memegang perutnya, darah masih menetes dari sela jarinya, meski anehnya, dia tidak tampak kesakitan.
Aku menyentuh leherku. Jantungku… tidak berdetak.
Napas… ada, tapi seperti tidak perlu.
Aku sadar: aku sudah mati.
“Selamat datang.”
Sebuah suara menyapaku. Lembut, nyaris seperti bisikan.
Aku menoleh. Seorang pria berpakaian serba abu-abu berdiri di depanku, membawa clipboard yang sudah usang. Matanya tampak jernih, tetapi tidak ada emosi di dalamnya.
“Namamu… Hanum, ya?”
Aku mengangguk pelan, tenggorokanku kering.
“Kau sekarang berada di ruang antara,” katanya. “Ruang tunggu sebelum keputusan diambil.”
“Keputusan?”
Ia membuka clipboard-nya dan membacakan dua pilihan:
“Satu: Kembali ke dunia, tapi kehilangan satu hal yang paling berarti untukmu.
Dua: Menghilang sepenuhnya. Dunia akan lupa pernah mengenalmu. Tidak ada bekas. Tidak ada ingatan tentangmu. Bahkan orangtuamu tak akan tahu kau pernah lahir.”
Aku membeku.
Suara langkah-langkah di sekitarku terdengar samar. Satu per satu orang-orang berdiri dan berjalan menuju pintu di sisi kanan atau kiri ruangan. Aku tidak tahu ke mana pintu itu membawa mereka. Yang kutahu, pintu yang satu berarti kembali ke dunia dengan konsekuensi, dan pintu lainnya adalah akhir segalanya.
“Bolehkah aku tahu… apa yang akan hilang jika aku memilih kembali?” tanyaku dengan suara gemetar.
Petugas itu menatapku, matanya kosong. “Itu rahasia yang hanya akan kau ketahui saat pilihan sudah diambil.”
Hatiku bergetar.
Ibuku.
Aku teringat wajahnya. Ia masih terbaring di rumah sakit, paru-parunya dipenuhi sel kanker yang diam-diam menggerogotinya selama bertahun-tahun. Aku sedang dalam perjalanan menjenguknya saat kecelakaan itu terjadi.
Aku teringat kata-kata ibuku sebelum aku berangkat.
“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Hanum. Kadang hidup itu cuma tentang bertahan hari ini, besok urusan nanti.”
Dadaku sesak. Bagaimana jika yang hilang adalah kenangan tentang ibu? Atau cintaku padanya? Atau mungkin, seluruh hidupku sebelumnya?
Aku menunduk.
Pilihannya sederhana di permukaan, tapi menyakitkan di dalam.
Kembali hidup tapi kehilangan sesuatu yang paling berarti…
Atau, lenyap begitu saja, membuat dunia lupa aku pernah ada?
Tanganku gemetar. “Bolehkah aku bicara dulu dengan ibuku? Biar sebentar?”
Petugas itu menggeleng. “Tidak bisa.”
“Aku belum siap memilih.”
“Waktu di sini memang tidak berjalan, tapi itu bukan alasan untuk terus menunda.”
Aku menelan ludah yang tidak ada.
Jika aku menghilang, aku tidak akan pernah lagi melihat mata ibuku, tidak akan pernah lagi mengenang suara tawa kami, atau sore-sore saat kami makan mi instan sambil menonton TV.
Tapi jika aku kembali dan kehilangan kenangan itu…
Apa gunanya hidup kalau aku tidak ingat alasan kenapa aku bertahan?
Waktu berlalu tanpa benar-benar terasa.
Aku memandangi orang-orang yang berjalan menuju pintu satu per satu. Ada yang menangis, ada yang pasrah. Ada yang tertawa, anehnya.
Mungkin karena mereka sudah lelah dengan dunia.
Atau mungkin mereka tahu, kehilangan kadang lebih ringan daripada mempertahankan.
“Waktumu hampir habis, Hanum,” suara petugas itu kembali terdengar.
Aku mendongak. “Apa yang terjadi kalau aku tidak memilih?”
Petugas itu tersenyum samar. Untuk pertama kalinya, ada emosi di wajahnya.
“Kalau kau terlalu lama di sini, kau akan menjadi bagian dari ruang tunggu ini. Menjadi seseorang yang menunggu orang lain memilih. Seperti aku.”
Aku terdiam.
Jadi dia juga… seseorang yang dulu pernah menunggu? Seseorang yang tak pernah memilih?
Aku mengepalkan tangan. Aku tidak mau jadi bagian dari ruang kosong ini.
Tapi aku juga tidak mau hidup tanpa ingatan tentang orang yang paling kucintai.
“Kau sudah tahu jawabannya?” tanyanya.
Aku menutup mata.
Ada suara di kepalaku. Suara ibu.
“Hanum… hidup itu bukan tentang tahu semua jawabannya. Kadang kita cuma perlu berjalan walau lutut gemetar.”
Aku menarik napas yang tidak benar-benar ada.
“Baik,” kataku lirih. “Aku memilih… kembali.”
Petugas itu mengangguk pelan, tanpa ekspresi kemenangan atau kekalahan. Ia mengulurkan tangan. Aku menyentuhnya, dan dunia di sekitarku berputar.
Ketika mataku terbuka, sinar lampu rumah sakit menyilaukan.
Ada suara alat medis berdetak. Suara suster mondar-mandir.
Aku merasa berat. Kepalaku kosong, seperti ada lubang yang baru saja digali di dalamnya.
Perawat tersenyum padaku. “Kamu sadar juga, ya? Alhamdulillah.”
Aku mencoba bicara. “Ibu…”
Perawat itu menatapku heran. “Ibu? Maaf… kamu datang sendiri tadi malam. Keluargamu memang jauh, kan? Kamu sempat bilang begitu waktu kami rawat.”
Aku membeku.
Siapa yang kumaksud dengan ‘Ibu’?
Aku mencoba mengingat wajahnya tapi kosong. Tidak ada siapa-siapa di kepalaku. Tidak ada ibu. Tidak ada kenangan tentangnya.
Hanya rasa kehilangan yang membungkam dadaku.
Aku kembali ke dunia. Tapi seseorang di dalam diriku telah hilang.
Mungkin dia adalah alasanku bertahan. Mungkin dia adalah alasanku untuk pulang.
Aku tidak tahu siapa, tapi aku tahu aku pernah sangat mencintainya.
Dan sekarang aku hidup… dengan sebuah lubang di hati yang tak pernah bisa kupahami.