Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cahaya senja berwarna jingga. Awan cirrocumulus seperti kapuk. Sinar oranye rembulan dibalut awan tebal. Langit merah terang, langit biru tua bercampur violet malam, dan langit subuh yang memudar perlahan dari biru tua ke biru muda.
Bahkan langit malam dengan awan cumulonimbus yang menggantung hitam pun— semuanya tersimpan rapat dalam satu ruang kecil yang kusebut: pintu emas.
Sebuah pintu berisi sejuta memori tentang langit…dan tentang orang-orang yang dulu hidup bersamaku di bawahnya.
Langit itu pernah menyapaku setiap aku pulang. Cuacanya selalu memeluk saat aku datang. Rasanya seperti pulang ke hati sendiri.
Tapi kini, pintu itu telah tertutup. Segala penghuni lama telah terpencar.
Aku berjalan dengan langkah berat, berharap menemukan pintu platinum. Namun yang kutemukan hanyalah pintu karat. Usang, retak, dan tidak layak disebut rumah.
Aku berdiri di ambang, gamang: antara menetap dalam kehampaan, atau kembali menunggu harapan yang sudah hilang.
Kilatan cahaya emas sempat masuk perlahan. Seolah menungguku pulang.
Kurcaci kecil. Penjaga pintu emas. melambaikan tangan. Ia ingin aku kembali. Aku berjalan pelan, mencoba meraih secercah harapan. Namun saat aku sampai di gerbang batas, kurcaci itu ditarik kembali oleh penjaga sistem. Ia menatapku lewat celah kecil. Tak bisa mendekat. Penjaga sistem berkata: “Masamu telah usai. Jadilah orang lain dulu, baru kau bisa masuk kembali.”
Pintu itu pun tertutup rapat. Cahaya emas padam. Aku menelan pahitnya kenyataan: aku tak bisa pulang.
Aku berbalik badan. Menggenggam erat semua kantung harapan yang masih tersisa. Melangkah kembali ke arah pintu karat, menyeret kaki dengan sisa tenaga.
Di tengah perjalanan, muncul sebuah jalur menuju pintu lain—pintu yang masih terkunci. Penuh misteri. Aku tak tahu… apakah di baliknya ada ladang ular atau berlian.
Kini, aku menyimpan pintu emas itu dalam brankas. Bukan untuk dilupakan, tapi agar aku bisa berjalan tanpa terus menoleh ke belakang.
Aku akan terus mencari. Menapaki jalan tak pasti. Berani membuka pintu demi pintu dengan berbagai risiko.
Karena mungkin… ada satu pintu di masa depan. Yang akan membawaku pulang. Tapi bukan ke tempat lama. Melainkan ke tempat yang lebih tinggi.