Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cerita ini dimulai dari ungkapan kegelisahan seorang sarjana muda bernama Darmawan. Ia lulus dengan predikat cumlaude, jaket almamater masih tergantung rapi di lemari, ijazah tersimpan aman di plastik bening.
Tapi hari demi hari berlalu tanpa kabar panggilan kerja. Tawaran pertama datang dari pabrik kecil, gajinya bahkan tak lebih dari UMR. Darmawan menolak. Bukan karena sombong. Tapi karena katanya, ia harus menghargai gelar yang telah ia perjuangkan bertahun-tahun.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan… Tetap tak ada kabar. Sementara grup WhatsApp teman seangkatan makin riuh:
“Alhamdulillah keterima di bank,”
“Baru training di Jakarta, doain ya!”
Foto-foto selfie dengan ID Card dan setelan kerja mulai berseliweran. Darmawan? Masih tidur larut dan bangun siang.
Ibunya mulai bertanya, pelan tapi menusuk:
“Kerja belum, Wan?”
“Ada kabar dari mana, Wan?”
Lalu ayahnya ikut bersuara, “Lihat si Bagas, temenmu itu… sudah bawa mobil sekarang.”
Darmawan diam. Bukan tak mau menjawab, tapi tak tahu harus menjawab apa. Hari berganti bulan.Tabungan ludes,harga diri terkikis.Ia tak lagi semangat keluar rumah, enggan ketemu tetangga yang pasti bertanya:
“Lho, kok di rumah terus? Nggak kerja?”
Akhirnya dia menyerah.Ambil kerja seadanya. Operator gudang, aji kecil, tapi cukup buat ongkos dan makan siang. Setidaknya ada jawaban saat ditanya: “Kerja di mana sekarang?”
Tapi kerja kecil berarti minder makin besar.Apalagi saat reuni kecil di kafe pinggir kota. Mantan teman sekampus bawa mobil baru, bahas cicilan rumah, kenaikan gaji, dan honeymoon ke Bali. Darmawan hanya tertawa kecil, meneguk kopi yang terasa pahit di lidah, manis di nota yang harus ia bayar sendiri.
Lalu datang pertanyaan itu lagi.
“Kapan nikah, Wan?”
Ibunya makin sering kenalin ke anak teman pengajian.Darmawan lelah menjelaskan bahwa menikah itu bukan perlombaan.
Tapi diam-diam, ia ingin.
Ingin dianggap “normal.”
Ingin membanggakan orang tua.
Ingin berhenti merasa tertinggal.
Akhirnya, ia menikah. Lewat jalur ta’aruf.
Cepat. Ringkas. Sah.
Istrinya baik,sederhana, penurut dan punya mimpi yang hampir sama denganya : hidup tenang, punya keluarga kecil, dan rumah yang adem.Tapi mimpi itu pelan-pelan tumbuh jadi tuntutan.
“Kapan punya anak?”
“Kok belum isi juga?”
Darmawan hanya menjawab dengan senyum tipis. Hidupnya terasa seperti skrip yang ditulis orang lain, dan ia hanya aktor figuran yang disuruh terus lanjut tanpa boleh protes.
Dan ketika anak itu hadir, rumah jadi ramai. Tangis bayi, celoteh kecil, tawa pertama , semua seolah menutupi sesak yang tumbuh di dompetnya.
Tapi pagi hari kembali ke kenyataan. Istri bangun lebih dulu, duduk lama di tepi ranjang.Lalu dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata:
“Mas... maaf ya. Tapi aku capek.
Kita ini hidup kayak... kaya enggak, miskin iya.”
Darmawan tak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit kamar yang mulai retak di sudutnya.Retak, seperti semangatnya.
Ibunya sekarang mulai bertanya, bukan lagi soal kerja, tapi soal cucu.
“Kok anaknya kurusan? Susu masih cukup, Wan?”
“Ayo dong, kamu itu kepala keluarga.”
Ia ingin bilang: aku tahu, Bu.Tapi kalau tahu saja cukup, mungkin perut anaknya tak akan keroncongan.
Sampai akhirnya, suatu sore, Darmawan berjalan kaki keluar rumah.Tanpa tujuan. Hanya ingin jauh dari omelan, dari suara tangis, dari tumpukan tagihan.
Di ujung jalan, ia melihat seorang tukang becak duduk di pinggir trotoar.Bajunya lusuh, tapi wajahnya cerah.Anak-anak kecil memeluknya dari belakang, tertawa keras sambil berebut jajanan yang murah tapi cukup.Istrinya datang membawa teh dalam botol plastik bekas, duduk di sebelahnya, menyuapi bakwan goreng sambil sesekali saling melucu.
Di seberangnya, dua pengamen jalanan sedang main catur.Duduk di bawah pohon rindang, gitar ditaruh di samping, tertawa-tawa tiap bidaknya salah jalan. Tak ada motor mewah. Tak ada rumah bersertifikat. Tapi... ada tawa. Ada cahaya di mata mereka.
Darmawan berdiri lama.Hening........
Hanya suara senja dan denyut pelan dadanya sendiri, lalu ia beranjak pulang.Langkahnya ringan. Tak karena beban hilang, tapi karena ia sudah belajar sesuatu:
Bahwa hidup bukan lomba siapa paling cepat.
Bukan juga daftar target yang harus dipenuhi demi disebut “sukses.” Bukan untuk menyenangkan semua orang yang bahkan tak ikut membantumu jatuh-bangun. Hidup adalah tentang berjalan.Kadang lambat. Kadang salah arah. Tapi tetap berjalan.Dan di antara jalan itu, yang penting bukan pencapaian, tapi bagaimana kita bersyukur untuk hal-hal kecil, dan tetap setia pada diri sendiri.
Akhirnya, Darmawan mulai belajar tertawa. Bukan karena semua beban selesai, tapi karena hatinya mulai tenang.Ia tak ingin kaya raya.Ia hanya ingin bahagia dengan caranya sendiri.