Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sudut ruangan yang remang itu, di bawah tatapan seekor cecak yang membatu di dinding kusam, lelaki itu—kita sebut saja Baskoro—menghitung sisa hartanya di atas meja kayu yang lapuk. Jari-jarinya yang kasar, yang dulu terbiasa mengoperasikan mesin pabrik, kini gemetar saat menyentuh logam dingin yang hina. Seribu. Dua ribu. Dua ribu lima ratus. Cukup untuk membeli apa? Beberapa butir beras? Atau mungkin hanya cukup untuk membeli hak agar merasa lebih putus asa besok pagi. Dan di samping tumpukan receh itu, tergeletak sebuah doa yang telah aus, yang ia rapalkan setiap malam hingga kata-katanya kehilangan makna.
Istrinya, Sari, duduk membisu di seberang meja. Ia tidak menatap Baskoro. Tidak. Tatapannya menembus dinding kusam di hadapan mereka, seolah di baliknya ada dunia lain, sebuah jawaban, atau mungkin sebuah jalan keluar. Tapi dinding itu hanya menawarkan noda-noda kelembapan yang menyerupai peta dari sebuah negeri antah-berantah. Keheningannya lebih menakutkan daripada tangisan atau amarah. Keheningan seseorang yang telah berhenti berharap, dan bagi Baskoro, itu adalah vonis yang paling kejam.
Anak mereka, Cempluk, sudah tertidur sejak sore di atas tikar tipis. Perut yang kosong membuat tubuh kecilnya lebih cepat lelah, menyerah pada mimpi. Ah, mimpi! Di sanalah mungkin ia sedang makan paha ayam goreng yang renyah, atau sekadar menolak makan sayur bayam seperti biasa, kemewahan kecil yang kini terasa seperti kenangan dari kehidupan orang lain. Baskoro menatapnya, dan rasa cinta yang membuncah di dadanya berkelindan dengan rasa malu yang menggerogoti jiwanya. Ia adalah seorang ayah, seorang kepala keluarga, namun ia bahkan tak mampu menyediakan semangkuk nasi untuk darah dagingnya sendiri.
Ia pernah jadi pegawai tetap. Sebuah roda penggerak kecil dalam mesin raksasa industri. Gajinya tidak besar, tapi ia adalah seorang pria terhormat. Seorang pria yang bisa membeli beras, membayar listrik tepat waktu, dan sesekali mentraktir keluarganya semangkuk bakso di alun-alun, melihat tawa Cempluk saat kuah hangat membasahi bibirnya. Tapi negara, entitas agung, tiba-tiba sakit. Ekonomi batuk-batuk. Pabrik tempat ia mengabdikan separuh hidupnya merumahkannya dengan pesangon yang ditelan inflasi dalam sekejap mata.
Dan ironi yang paling menyiksa, yang paling menusuk, adalah ini: ia tinggal di negeri yang disebut-sebut sebagai lumbung pangan dunia. Gemah ripah loh jinawi. Slogan-slogan itu berdengung di kepalanya, gema dari masa sekolahnya yang penuh harapan. Tanah subur, sawah menghampar hijau, surga agraris. Tapi malam ini, di surga itu, ia bahkan tak bisa membeli satu liter beras pun.
“Negara ini,” bisiknya pada cecak di dinding, suaranya serak, “bisa mengekspor ribuan ton beras ke negeri orang. Tapi ia tak sanggup menyisihkan sejumput untuk memberi makan anak-anaknya sendiri yang kelaparan. Di mana keadilan Tuhan dalam semua ini?”
Tak ada yang menjawab. Cecak itu tetap diam. Bahkan dinding pun seolah menahan napas, enggan terlibat dalam penghujatannya.
Ia pernah membaca buku tentang filsafat Stoik di perpustakaan kota, buku usang yang tinggal sampulnya saja. Tentang menerima apa yang tak bisa diubah. Tentang menjaga ketenangan batin di tengah kehancuran. Tentang hidup sebagai ujian panjang yang tak pernah diumumkan jawabannya. Ah, Zeno! Marcus Aurelius! Para filsuf agung itu! Mudah bagi mereka bicara tentang menerima nasib dari singgasana mereka yang nyaman! Coba suruh mereka menerima nasib dengan perut yang digerogoti asam lambung, dengan tatapan kosong istri, dan napas lapar seorang anak. Stoikisme adalah kemewahan bagi mereka yang perutnya kenyang.
Ia membuka kaleng bekas biskuit Lebaran, satu-satunya warisan dari hari raya yang lalu. Isinya bukan lagi rengginang atau wafer cokelat, melainkan tumpukan kertas yang mulai menguning: ijazah STM-nya, surat-surat pengalaman kerja, fotokopi KTP, dan mimpi-mimpi masa muda yang kini terasa seperti sebuah lelucon yang pahit. Dokumen-dokumen itu adalah bukti bahwa ia pernah menjadi seseorang. Bahwa ia pernah berguna. Kini, mereka hanyalah kertas tak berharga.
Ia memilih diam. Bukan karena ikhlas atau pasrah seperti ajaran para Stoik itu. Bukan. Ia diam karena protes sudah terlalu mahal harganya. Ia diam karena teriakannya hanya akan membentur dinding kusam yang bisu ini.
Malam itu, ia bangkit dari kursinya. Gerakannya lambat, seperti orang tua yang memikul beban satu abad di punggungnya. Ia menyalakan kompor tua. Api biru kecil menyala ragu-ragu, seperti nyawa yang enggan padam. Di atasnya, ia meletakkan sebuah panci berisi air kosong. Hanya air. Ia merebusnya, membiarkan uapnya mengepul ke seluruh ruangan.
Untuk apa? Untuk memberi ilusi. Untuk memberi aroma, agar Cempluk, jika terbangun, akan mengira masih ada sesuatu yang dimasak untuknya. Agar keheningan di rumah itu pecah oleh suara air mendidih, bukan oleh suara keroncongan perut. Sebuah kebohongan kecil yang putus asa untuk mempertahankan sisa-sisa normalitas.
Dan di akhir bulan yang tak mampu membeli beras, di negeri agraris yang katanya kaya raya, sambil menatap uap air yang mengepul dari panci kosong, ia akhirnya sadar akan sebuah kebenaran yang sadis: yang paling lapar di dalam rumah ini bukanlah perut. Bukan. Yang paling lapar adalah harga dirinya yang tercabik-cabik.