Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Gimana rasa kopi itu kak?” tanya sang barista kepadaku.
Sambil menyeruputnya aku menjawab, “Pahit seperti hidup ini, hahaha.”
Sang barista itu ikut tertawa mendengarnya. Sambil melakukan kalibrasi pada mesin, dia mengambil gelas kecil berisi gula putih dan sendoknya.
“Ini kak, barangkali butuh untuk mengurangi rasa pahitnya.”
Lalu aku menghargainya, “Oh, oke. Thank you yah.”
“Sama-sama kak,”
Kedai masih pagi, kerjaannya juga belum terlalu sibuk. Mungkin karena gabut, dia bertanya padaku kembali, “Tau enggak kak, kenapa gula putih yang di pilih untuk mengurangi rasa pahit? Kenapa tidak pakai pemanis lainnya?”
Aku tertawa dalam hati, dia benar-benar gabut. Lalu aku menjawabnya. “Mungkin aksesnya mudah di dapat, rasanya juga cocok. Betul?”
“Hm, bisa jadi. Tapi jawabannya kurang deep, butuh sedikit filosofis.”
“Oalah ada filosofinya, apa tuh?” tanyaku balik.
Dia tersenyum dan menjawab, “Gula ditambahkan pada kopi, diaduk, lalu larut dan menghilang. Sebagai pelipur dari rasa pahit, dia mengorbankan wujud padatnya agar kopi mencapai rasa yang harmonis. Artinya saat kita berbuat baik, mungkin wujudnya akan melebur hilang. Bahkan tidak akan ada pujian atau pengakuan yang akan telinga kita dengar. Namun rasa manisnya gula akan terpatri harmonis sampai kopi itu habis.”
Aku termangu mendengarnya. Baru kali ini ada yang mampu menjelaskan makna dari hal kecil yang sering kita anggap tidak penting.
“Hm, menarik juga ya.” kataku.
Lalu dia kembali bicara, “Tapi jangan kebanyakan ya kak. Nanti malah diabetes, hahaha.”
Akupun ikut kembali tertawa dalam relung filosofisnya.~