Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku terbangun, kala suara petir bergemuruh di langit. Guyuran hujan lebat mengetuk jendelaku berkali-kali.
Aku mulai mendudukkan diri di pinggir kasur, demi mengumpulkan nyawa yang terombang-ambing badai. Ternyata langit telah berganti malam dan kamarku pun ikut gelap gulita.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah kulakukan, sebelum aku ketiduran di kamarku sendiri.
Jam tiga sore lalu, aku baru kembali ke rumah setelah rawat inap di rumah sakit akibat tipes. Saat sampai di kamar, aku langsung membersihkan diri sebelum membereskan bawaanku.
Badan dan pikiranku yang lelah, memohon untuk memejamkan mata sejenak, dan berakhirlah ketiduran sampai malam.
Aku bangkit dari kasur menuju tempat saklar lampu di dekat pintu.
“Hah … pasti pemadaman listrik dadakan lagi, akibat hujan di luar sana. Udah jam berapa ini?”
Aku segera mencari ponsel di kasur untuk melihat jam terkini. Mataku sampai menyipit akibat cahaya ponsel yang menyilaukan penglihatanku.
“Hah? Udah jam sepuluh malam? Bodohnya aku lupa memberi makan Tamtam.”
Segera aku menuju lantai dasar dengan bantuan cahaya ponselku. Bahkan terangnya cahaya ponselku, belum cukup menerangi pekatnya gelap yang menelan seisi rumahku.
Aku mengeong dan memanggil nama kucing hitamku yang biasa menyatu dalam kegelapan. Dia memang jarang menyahut, tetapi aku bisa mengetahui keberadaannya lewat bunyi kalungnya.
Untunglah ada cahaya dari luar jendela dapur. Aku tidak akan kesulitan menyiapkan makan dan minum Tamtam.
Kerincing!
Suara kalung Tamtam akhirnya terdengar. Aku menyuruh untuk bersabar sejenak. "Tamtam lapar ya? Sebentar ya .…"
Selagi menyiapkan makanan, sesekali aku melihat hujan menari di luar rumah mengikuti irama angin menerpa. Kondisi mati lampu disertai hawa dingin, sukses membuatku menguap lebar.
Setelah siap, aku menaruh tempat makan dan minum yang tersorot cahaya. Kemudian, aku kembali memanggil Tamtam agar dia segera makan. “Tamtam, ayo makan!”
Niatku menunggu TamTam terinterupsi panggilan telepon berbayar. Aku keluar dari dapur, lalu mengangkat telepon temanku di dekat tangga.
"Halo, Valen.”
[Hannah, kamu udah di rumah? Aku khawatir kamu gak balas pesan WA-ku.]
"Udah, dari jam tiga sore tadi. Aku naik taksi online. Maaf aku juga ketiduran, paketan internetku baru aja habis sore tadi."
[Syukurlah. Maaf ya gak bisa jemput kamu. Seharian ini di area kos-ku hujan lebat sejak siang. Sekali lagi maaf ya.…]
"Gak apa-apa. Sejak awal bulan ‘kan, cuaca memang gak bisa ditebak.”
Kereincing, kerincing!
Sepertinya, TamTam sudah selesai makan. Suara kalungnya terdengar saat dia keluar dari dapur. Aku berniat kembali ke kamar, sebelum Valen mengatakan suatu hal.
[Eh, Han. Kayaknya aku baru bisa anter tamtam sekitar jam ... emm ... jam 3 sore, mungkin. Gak apa-apa. 'kan? ]
Aku terdiam sejenak.
"Tamtam ... di tempat kamu?"
[Iya. Kamu lupa? Selama kamu rawat inap di rumah sakit sejak satu minggu lalu, Tamtam 'kan, tinggal di kos-ku.]
Bagaimana bisa aku melupakan hal ini? Firasatku mulai tidak enak.
Buru-buru aku kembali ke dapur/ untuk melihat tempat makan Tamtam. Isi makanan dan airnya … sudah kosong.
Aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang kuberi makan dan minum tadi?
Kerincing, kerincing!
Bulu kudukku meremang ketika suara kalung Tamtam terdengar lagi. Lambat laun, aku menengok ke ambang pintu, bertepatan kilat menyinari seisi ruang dapur.
Bayangan tinggi tersenyum lebar, menampakkan gigi bergerigi putih. Matanya berwarna emas, seperti milik Tamtam.
Lalu, dia mengeong tanpa merasa berdosa.