Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sudah terlalu lama kering.
Hujan terakhir turun tiga puluh dua tahun lalu, sebelum anak-anak belajar bahwa air bisa jatuh dari langit. Sekarang, air hanyalah sesuatu yang dipompa dari perut bumi, diatur, disterilkan, dan diperdagangkan seperti emas cair.
Di rumah kecil di pinggiran kota, seorang nenek bernama Rara duduk di samping cucunya, Ayra, yang berusia delapan tahun. Mereka memandangi langit yang abu-abu.
“Aku ingin kamu tahu seperti apa suara hujan,” kata Rara, suaranya parau tapi penuh harap. “Ia tak seperti suara pipa air atau keran bocor. Hujan punya iramanya sendiri. Ia mengetuk jendela seolah ingin masuk bicara.”
Ayra tersenyum kecil. “Nenek, aku sudah lihat video hujan di sekolah. Katanya, itu cuma mitos. Seperti pelangi yang muncul sendiri.”
“Video bukan hujan, Ayra,” jawab Rara pelan. “Video tak bisa buat kamu merasa dingin tapi hangat sekaligus. Tak bisa buat kamu ingin menangis, padahal kamu tak tahu kenapa.”
Ayra menunduk. “Kalau hujan terakhir sudah lama, kenapa nenek yakin dia bakal datang lagi?”
“Karena aku belum selesai mencintainya,” ucap Rara sambil menatap langit. “Dan sesuatu yang dicintai… selalu mencari jalan pulang.”
Hari-hari berlalu, dan langit tak berubah. Anak-anak tumbuh tanpa jas hujan. Toko-toko berhenti menjual payung. Lahan-lahan gersang menjadi kota, dan pohon-pohon diganti dengan menara pendingin.
Namun Rara tetap menunggu. Ia menaruh gelas kosong di jendela, membuka atapnya sedikit setiap pagi, dan berdoa pada langit yang kering.
Hingga suatu malam, tubuh Rara melemah. Ia dibaringkan di tempat tidurnya, napasnya mulai berderak seperti daun tua. Ayra menggenggam tangannya.
“Nenek…” bisik Ayra. “Langit masih kering.”
Rara menoleh lemah. “Mungkin… mungkin aku harus pergi… supaya dia bisa datang…”
“Nenek, jangan.”
Tapi malam tak mendengar.
Saat dini hari tiba, Ayra terbangun karena suara asing. Bukan suara alarm atau ventilasi. Bukan juga suara kendaraan drone.
Itu… suara ketukan kecil di atap. Lalu lebih banyak. Lalu berirama.
Tok tok tok tok.
Ia membuka jendela. Butiran dingin menari di udara, memukul tanah, membasuh debu.
Hujan.
Air yang jatuh dari langit. Air yang bukan milik siapa-siapa. Air yang menangis seperti ia sedang rindu pada sesuatu.
Ayra berlari ke ranjang. Tapi tubuh Rara sudah dingin, bibirnya sedikit tersenyum.
Ayra membuka pintu rumah. Ia berdiri di bawah hujan, membiarkannya membasahi rambut dan bajunya. Ia menengadah, menangis, tapi tak tahu kenapa.
Di samping gelas kosong Rara di jendela, sebutir air pertama jatuh, mengisi sedikit ruang.
Musim hujan terakhir, akhirnya datang tidak untuk dunia, tapi untuk seorang nenek yang menunggu dengan cinta