Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tiba lebih dulu dari keberanian yang kupaksakan. Minimarket itu tak pernah memberikan kenyamanan, tetapi entah kenapa aku tahu pasti Anto akan ada di sana—bersandar, menyeruput kopi instan, dan merokok seakan dunia tak pernah meminta pertanggungjawaban.
Aku tepikan motorku di area parkir. Kupaksa langkahku tenang, meski jantung ini seperti sedang digedor kenyataan. Empat batang rokok tersisa di bungkus Marlboro yang terbuka di hadapannya. Ia bahkan tak menoleh saat aku menghampiri.
“Ngapain duduk di sini?” tanyaku, lebih tajam daripada niat semula.
Anto tetap diam. Ia hanya melonjorkan kaki ke kursi kosong, seolah keberadaanku tak perlu dijelaskan.
“Sampai kapan kamu mau diam terus? Apa kamu pikir bisa lari dari ini?” kataku lagi, sambil merebut rokok dari tangannya.
Ia membisu, bukan bungkam. Hanya saja, sangat kentara bahwa ia sedang melindungi sesuatu yang tidak ingin kuakses. Matanya sesekali menutup, tangannya menggenggam bungkus rokok layaknya anak kecil memegang mainan terakhir.
Aku meletakkan testpack dan surat dokter di atas meja, mencoba menghapus jeda yang membuatku lemas selama dua minggu terakhir.
“Aku hamil. Dua bulan.”
Ia tidak bertanya apakah aku serius. Tidak bertanya bagaimana aku tahu. Tidak berusaha membuka dua bukti yang kusodorkan. Ya, tidak ada kalimat yang terucap dari bibirnya, hanya wajah yang menahan napas dan kening yang sedikit berkerut.
“Datang ke rumahku. Kita selesaikan ini. Orangtuaku sudah tahu.”
Gelas kopi yang ia pegang tergelincir setelah aku mengetuk meja. Ia berdiri cepat, menatapku tajam.
“Yakin itu anak gue?”
Pertanyaan itu, laksana batu yang jatuh menimpa badan. Berat, dingin, dan menenggelamkan.
“Aku nggak pernah deket sama cowok lain, selain kamu, selama kita berhubungan?” suaraku gemetar. Namun, aku tetap menjaga kejelasan dari setiap kata-kata yang kungkapkan. “Ingat malam tahun baru? Hari Valentine? Hotel di Jogja? Waktu tugas kuliah? Dan apakah semua itu—”
Ia memotongku. “Cukup!”
Singkat dan menampar. Tamparan yang lahir bukan karena emosi semata, melainkan karena kekecewaan. Aku bak tidak ada lagi tempat di hatinya. Di manakah dirinya yang dulu membelaiku penuh kelembutan?
Aku tidak menyesal. Aku menyesal justru karena harus merasa tidak menyesal.
Anto sedikit merapat ke sisiku. “Gue kasih dua pilihan. Aborsi, atau lahirkan dulu anak itu lalu kita tes DNA.”
Kalimat itu, aku tak tahu apakah harus menangis, tertawa, atau bersujud minta maaf pada Tuhan karena telah begitu percaya kepada laki-laki yang cuma paham logika tanpa nurani.
Tubuhku terasa menggigil. Aku butuh penyelesaian yang lebih nyata. Menikah, walau setelahnya ia akan menceraikanku. Setidaknya, ada wajah orang tuaku yang kuselamatkan untuk saat ini.
Aku mencoba menggenggam tangannya. Ia justru menghardiku.
Ia lantas menyimpan rokok dan korek api ke dalam jaketnya, melangkah menuju motornya. Aku berusaha mengejar. Sayangnya, lututku kalah oleh tangisan.
Ia pergi dengan cepat. Aku terduduk tak berdaya di trotoar. Tidak hancur. Hanya belajar menghitung berapa kali cinta telah membuatku lupa mencintai diriku sendiri.
Tiga tahun aku bersamanya. Kutinggalkan kuliah, kutanggung bisik-bisik, kutepis rasa malu demi sesuatu yang katanya hubungan. Akan tetapi, pada akhirnya, aku hanyalah raga yang bisa disangkal dan hati yang boleh dibuang.
Beberapa pengendara berhenti. Ada yang menoleh, ada yang lewat begitu saja. Tak seorang pun bertanya. Mungkin karena air mataku terlihat terlalu familiar, seperti yang mereka lihat di layar sinetron, bukan di jalanan yang kejam dan tega.
Aku pulang. Tak tahu harus menjelaskan apa. Ayah dan Ibu menatapku dari ruang tamu, tak berkata-kata, hanya menunggu. Menunggu Keputusan yang tak bisa kubawa.
Malam menjelang. Kamar menjelma menjadi tempat persembunyian terakhir. Tempat di mana semua air mata dan penyesalan bisa diluapkan tanpa pertanyaan.
Tangis datang, bukan sebagai ledakan, melainkan hujan kecil yang mengendap. Aku menangis karena merasa terlalu mudah percaya. Karena tahu ini bisa terjadi, tetapi tetap mengabaikan tanda-tandanya. Karena tubuhku sudah menyimpan harapan, sementara hatiku menyimpan rasa malu.