Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ibu kota, senjanya selalu datang seperti konspirasi, menebarkan warna jingga pada kaca-kaca gedung tempat nasib orang-orang penting diputuskan di antara kepulan asap cerutu dan dering telepon yang tak akan pernah sampai ke telinga publik.
Di negeri ini—yang menurut para kartograf mabuk, lekuknya serupa tubuh perempuan—para lelaki sibuk mengolah lahan. Mereka bukan menanam padi, tapi menanam janji pada rapat-rapat terbatas. Menyiramnya dengan siaran pers di televisi. Dan memanen kekuasaan dari lipatan kain para perempuan yang namanya hanya menjadi catatan kaki dalam buku anggaran.
Salah satu petaninya adalah Lelaki Itu. Kita sebut saja Bapak, karena nama aslinya terlalu sakral untuk ditulis di media gosip dan hanya beredar sebagai bisik-bisik di lobi hotel atau lapangan golf. Ia punya lumbung-lumbung yang pengap oleh rahasia negara, dan ladang-ladang yang hanya bisa digarap saat malam memadamkan lampu-lampu protokol. Aroma kekuasaannya adalah campuran aneh antara parfum Eropa dan jelaga knalpot kota yang sekarat.
Di salah satu ladang itulah Perempuan Itu berada. Ani, atau entah siapa namanya dalam KTP yang tersimpan di laci paling bawah. Ia bukan gundik, bukan istri simpanan. Istilah-istilah itu terlalu kasar, terlalu blak-blakan untuk dunia yang dibangun di atas basa-basi. Ia adalah ornamen. Anggrek langka yang tumbuh subur dari humus kemunafikan, dipelihara untuk menyejukkan mata setelah seharian menatap angka-angka inflasi.
“Republik ini butuh reses sejenak,” ujar Bapak suatu senja, sambil membuka kancing kemejanya seperti membuka arsip rahasia negara. Di luar, hujan mulai turun, membasahi patung-patung pahlawan yang membisu.
Setiap kali Perempuan Itu tertawa—tawa yang dipelajarinya dari film-film asing—sebuah jadwal penerbangan pejabat ditunda tanpa alasan. Dan setiap kali ia menangis dalam diam di kamar mandi marmer, selembar konstitusi di suatu tempat kehilangan satu pasalnya.
Tapi siapa yang peduli pada air mata yang tak pernah menjadi berita utama? Wartawan hanya mencatat angka pertumbuhan ekonomi, bukan jumlah kebohongan yang diucapkan sebelum fajar. Kamera hanya merekam senyum di podium, bukan tubuh yang menjadi alas bagi stabilitas sebuah rezim.
Hingga suatu malam yang lengket oleh gerah dan dusta, Perempuan Itu menanam sesuatu. Bukan di tanah, tapi di rongga dada Lelaki Itu, tepat di antara detak jantung dan ambisinya. Benih itu adalah akumulasi dari semua suara yang pernah ia telan, semua desah yang tak pernah ia niatkan.
Biji itu tumbuh menjadi pohon ganjil. Akarnya mencengkeram paru-paru Bapak, bunganya adalah mikrofon yang mekar merekam setiap janji palsu, dan buahnya adalah lensa-lensa CCTV yang matang, memerah, siap panen untuk disiarkan di program berita pagi.
Esoknya, tak ada lagi wajah Bapak di televisi. Tak ada pengumuman. Hanya kekosongan di jadwal siaran dan sebuah kursi yang dingin dalam rapat kabinet. Lenyap, seolah tak pernah ada, seperti berita yang sengaja tak diterbitkan.
Dan Perempuan Itu, ia melangkah keluar dari apartemen yang menjadi sangkar emasnya. Keluar dari alinea yang tak akan pernah ditulis sejarawan. Ia tak membawa apa-apa selain tas tangan berisi gincu, sebatang mawar yang mulai layu, dan ingatan yang tak bisa disita. Ia berjalan tenang, menyusuri trotoar ibu kota, menjadi siluet tanpa nama di antara lautan manusia yang bergegas menggapai tempat tujuannya. Ia bergerak seperti sebuah kalimat yang dihapus dari naskah pidato kenegaraan.
Sebab di negeri yang peta butanya digambar dari lekuk tubuh perempuan, prahara tak selalu datang dari langit.
Kadang, ia merambat pelan dari atas ranjang.