Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
To the God Who Watches Quietly
Why, O Watcher of Stars,
is my heart tethered
to a sky that rains smoke and neon lies
so far from the soil of my soul?
God, it hurts.
Why must I cradle the chaos
of a world that never cradled me?
All this time,
I’ve been a flame flickering
in a jar of glass breath
crying drops the wind never dries,
screaming in a language
no ear remembers.
What realm is this,
where silence grows like ivy
over my mouth,
and the roads bleed upward
under my blistered feet?
I was born into a sphere too large for cradles,
and every path I’ve walked
has tilted like a spine without a body.
If I slip from this crumbling ledge,
what hands will rise
through the fog
to catch a falling soul?
If I break,
do I echo
or disappear?
....
Clara tertidur setelah menulis puisi sebagai obat jiwanya.
Ia sedang menata ulang energinya.
Untuk kembali menari pada dunia yang ia bangun megah dengan orang orang yang secara ketat dia pilah pilah.
Orang orang berdecak penuh kekaguman
"Wah dia mandiri ya, cerdas, indah, lembut, tegas, bisa melindungi dirinya sendiri dan menjaga batasan energi dengan tegas, memilah apa yang seharusnya tumbuh pada lingkungannya, memilih apa yang layak didengar, dirasa, dicerna dan disimpan dalam jiwa. Hebat sekali ya...."
Ada pula yang sibuk berpikiran gelap,
"Sombong sekali, bukan siapa siapa tapi berlagak bak intan permata."
Lama suara itu bergantian berbunyi tak henti henti tapi sepanjang suara itu berdiri suara yang dinanti nanti belum juga ia temui.
Yakni suara yang berkata "sesakit apa kecewanya terhadap seluruh bagian dunia sampai dia membangun dunianya sendiri, memisahkan diri dan memilih milih semua hal sampai sejauh dan sedetail ini?"
....
"Clara, sebenernya kamu siapa?"
Ucap orang orang yang selama ini mengenalnya.
Ia hidup menjelma gadis yang ada pada pucuk sari sebuah bunga kesucian.
Terlihat mudah terjangkau tangan tapi ketika kamu ingin memeluknya dia menghilang, ternyata yang kau kenal hanya bayangannya, jiwa aslinya entah ke mana.
Ia menebarkan teka teki yang ketika dirangkai menjadi cermin yang memantulkan siapa yang menemukannya.
Sembari muncul sepercik cahaya sejati yang berkata, "Bagaimana caraku menyembunyikan segala luka yang menganga? Anggun tidak ?"
"Ahh, atau? kau ternyata tidak bisa membaca apa apa?"
"Bagaimana tuan, nyonya, masih mau hanya duduk diam di tempat dan bertepuk tangan?"
Padahal mimpinya itu harapan, bukan panggung opera.