Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit kelabu menyelubungi dunia, menolak cahaya menyentuh tanah. Angin berbisik dingin, mencabik ragaku yang kaku dengan jari-jari tak acuh. Aku berdiri di tepi jurang, kaki terpaku di bebatuan retak, menatap kegelapan yang menganga di bawah.
Jurang itu seperti cermin pecah, memantulkan luka tanpa nama, bergema kasar di dasar batin. Aku tak datang untuk melompat. Aku hanya ingin merasa ada, meski yang menatap hanya hutan yang tak bisa menjawab. Langkah ini pun bukan pelarian, melainkan kelelahan yang meremukkan tulang. Kelelahan dari dunia yang menuntut lebih, selalu lebih, dari yang mampu kuberikan.
Suara-suara sumbang di dalam rumah mengiang tajam di kepalaku. Mereka selalu berkata, “Kamu harusnya bisa lebih sukses. Kamu harus lebih kuat. Manusia macam apa yang cuma begini?”
Kata-kata itu terdengar seolah dorongan. Namun, selalu berulang dengan nada dan cara yang meremehkan. Keluarga, yang seharusnya menjadi pelabuhan, justru menjadi nestapa paling dalam. Tuntutan mereka laksana samudra yang luas dan dingin, tak memberi pelampung, hanya gelombang.
Pernahkah mereka bertanya, “Apa kabar hatimu hari ini?” Tidak. Dan aku, yang terbiasa menggenggam rahasia, tak pernah tahu cara menjawabnya.
Hari-hari kulewati dengan dada sesak, seolah ada denyut liar yang memekik dalam kebisuan. “Kamu gagal, kalah, tak berguna. Lihat, orang lain punya rumah, keluarga, karier, sedangkan kamu apa? Percuma selalu jadi juara kelas di sekolah.”
Aku seakan tak berharga. Segala yang kulakukan tak pernah dilihat, hanya ditimbang.
Aku tak mencari luka, tetapi ia selalu tahu jalan menemukanku. Setiap kegagalan menjadi cap, bukan pelajaran. Setiap tangis dianggap lemah, bukan duka yang perlu didekap. Aku layaknya membangun fondasi di pasir saat ombak mengamuk.
Aku juga butuh ruang untuk dipercaya. Setiap keringat yang menetes dari tubuhku untuk mencukupi harapan mereka? Mengapa mereka terus memburuku dengan usia dan pencapaian? Tak bisakah menemaniku mengalir bersama waktu?
Semalam, di kamar sewa yang pengap, aku menatap langit-langit berlumut. “Aku cuma pengen tenang,” bisikku, serak dan sesak. Namun, sepi justru menertawakanku, dan suara-suara itu kembali, “Tenang? Kamu tak pantas tenang. Kamu belum punya apa-apa. Kamu belum cukup.”
Tanganku mengepal, bukan untuk melawan, melainkan untuk menahan diriku agar tak runtuh. Aku lelah pada dunia yang tak memberiku sudut untuk bernapas, dan pada diriku sendiri yang perlahan kehilangan sinarnya.
Di tepi jurang ini, angin mencabik ragaku yang lesu, mengaduk pikiranku yang berantakan. Air mata jatuh tanpa diminta, dan aku tak peduli lagi untuk menyekanya.
Aku tak ingin mati, meski suara di kepalaku berbisik, “Apa gunanya bertahan? Untuk apa lagi hidup? Hal apa yang dimiliki sebagai penguat?”
Aku masih memegang serpihan mimpi yang rapuh. Aku ingin merasakan tertawa tanpa takut disalahkan, menangis tanpa harus disuruh berhenti, dan dipeluk tanpa harus menjadi sempurna.
Kupejamkan mata, mencoba menenggelamkan suara-suara lain yang berkumandang. Mereka semakin keras, saling tumpang tindih, “Kamu tak akan pernah cukup. Lihat dirimu, berdiri di sini seperti pecundang. Kamu mengecewakan semua orang. Kamu mengecewakan dirimu sendiri.”
Napasku tersendat. Aku ingin berteriak. Hanya saja, jurang di depanku lebih dulu memanggil. Ia tidak menjanjikan akhir, tetapi bisikan kosong yang menenangkan, “Di sini, suara-suara itu akan lenyap.”
Aku melangkah mundur, satu langkah kecil, sepatu usangku menggeser kerikil. Pikiranku melayang, bertanya pada angin yang kini diam, "Jika ada kehidupan lain setelah kematian, bolehkah aku memilih tempat untuk tumbuh?"
Aku tak ingin menghapus memori kehidupan ini. Biarlah luka, kegagalan, dan serpihan harapan kubawa. Biarkan kehidupan baru nanti, yang mungkin lebih lembut, menjadi penebusan bagiku. Bagi jiwa yang pernah berdiri di tepi jurang, mencoba belajar mencintai dirinya sendiri. Jiwa pasrah yang masih enggan sepenuhnya menyerah.