Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Semangkuk Bakso
0
Suka
3,204
Dibaca

Senja masih menggantung, tetapi langit sudah kehilangan warnanya. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, seperti mata yang memakasa terjaga dalam lelah. Aris duduk di bangku panjang dari kayu lapuk, tepat di depan sebuah kios kecil bertuliskan “BRILink - Agen Resmi BRI”. Di kaca depannya, tertempel kertas-kertas tarif transfer dan jadwal tutup yang sudah menguning.

Tak banyak suara. Hanya dengung kendaraan di kejauhan dan sesekali derit engsel pintu toko yang ditiup angin. Di sebelah kios, ada gerobak bakso. Uapnya mengepul samar, ibarat doa-doa halus yang melayang ke langit, tak tahu akan sampai atau tidak.

Aris menggenggam ponselnya erat-erat. Pikirannya fokus menjadi kalkulator awal bulan.

Gaji: Rp2.800.000.

Sewa kos: Rp700.000.

Makan (10 ribu/hari × 30 hari): Rp300.000.

Transport, pulsa, dana darurat: Rp300.000.

Sisa untuk keluarga: Rp1.500.000.

Itu pun belum termasuk kalau lampu kosan tiba-tiba mati dan harus beli token. Atau kalau motor tua miliknya kembali ngambek.

Sayangnya, yang di kampung tak peduli rincian itu. Mereka tak meminta hasil perhitungan. Mereka hanya menunggu kabar bahwa jatah bulanan telah masuk ke rekening. Titik.

Aris menghela napas sejenak. Berat dan agak sesak. Kali ini rasanya lebih dari sekadar terbiasa. Ia termenung lebih lama sebelum menyerahkan lembaran-lemabaran jerih payahnya.

Dalam riuhnya benak, ponsel Aris bergetar. Sebuah pesan dari sang ibu berkumandang, “Udah dikirim belum, Ris?”

Belum sempat dijawab, baru selesai membaca, panggilan masuk. Masih, Ibu.

Aris mengatur nada di dada, lalu menekan ikon gagang telepon berwarna hijau.

“Assalamu’alaikum.”

"Wa’alaikumsalam. Udah dikirim belom, Ris? Beras udah abis, gas abis. Bapak juga ngedumel aja nih kagak ada buat beli rokok. Belum lagi adikmu ngerengek minta buat bayar acara perpisahan, katanya terakhir besok.

Panjang, nyaris tanpa jeda. Tidak keras, tetapi padat dan terlalu bosan untuk didengar setiap bulan. Ya, suara itu bak ember yang penuh menuju tumpah.

“Iya, Bu. Ini lagi di depan agen, Mau transfer. Sebentar lagi,” ucap Aris, lirih dan getir.

"Ya udah. Cepet, ya. Ibu bingung ini kalau telat."

Klik.

Layar ponsel padam. Hitam. Membiru. Pilu.

Tak ada, "Ris, kamu sehat?"

Tak ada, "Udah makan, belum?"

Hanya “kapan” dan “segera”. Seolah ia bukan anak, melainkan tabungan berjalan yang tak pernah habis.

Aris mendongak ke tepi jalan raya. Ia coba melepaskan kecewa melalui pengamatan supaya tidak mengendap di dalam batin.

Di depan gerobak, seorang bapak muda sedang menyeruput bakso panas sambil tertawa ringan dengan anaknya. Aris menatap mangkuk mereka dengan saksama. Uap dari kuahnya, bihun yang melilit sendok, sayur yang berlayar lembut, dan bola-bola daging yang tampak kokoh—menyatu sempurna.

Aris membayangkan kombinasi itu menyentuh bibirnya dalam satu suapan. Rasa gurih yang membelai lidah dan menenangkan jiwa. Sesuatu yang lama bersemayam sebagai keinginan.

Ia pernah berujar kepada dirinya, “Gajian bulan ini, kita makan bakso, ya. Sesekali.”

Sekadar hadiah kecil. Semangkuk pengakuan bahwa ia layak.

Namun, angan-angan sering kali bercanda dengan kenyataan. Bahkan, niat sederhana pun harus melewati sidang panjang di pikirannya.

Harga semangkuk bakso: Rp15.000. Satu setengah hari anggaran makan.

Jika ia ambil sekarang, maka ada yang mesti dirancang ulang, atau disiasati dengan cermat. Jika mengurangi dari nominal yang akan ditransfer ke rumah, pasti ada akan pertanyaan yang menggugat. Rumit.

Kepala Aris mendidih. Bergemuruh. Berdebat. Hingga akhirnya ada suara-suara yang mendesak.

"Masak sih makan bakso aja pakai mikir gitu, Ris?"

"Nggak capek hidup kayak begini terus?"

"Kamu kerja buat siapa, sih? Buat mereka? Tapi kamu sendiri nggak mampu meninkmati keringatmu sendiri."

Aris memejamkan mata. Ada pengap yang naik perlahan. Dadanya seperti dililit soun mentah: panjang, kusut, tak bisa dilerai. Laksana berutang pada dunia, tetapi tak tahu kepada siapa harus membayar.

“Ris?” Reza datang dengan helm masih di tangan. Ia duduk di samping Aris. “Lu lagi nunggu siapa di depan sini?”

“Nggak, duduk-duduk aja,” jawab Aris sembari menata wajahnya.

“Mata lu merah, Ris. Kenapa?”

Aris tertawa hambar. “Debu.”

Reza menepuk pundak sang teman. Ia paham ada yang tengah Aris coba sembunyikan.

“Lu tahu nggak, kadang gue pengen banget lu cerita. Tapi lu selalu kelihatan kayak orang yang lagi di pinggir jurang, cuma pura-pura duduk santai. Kalau lu mau berbagi, apa pun dan kapan pun, jangan sungkan.”

Kalimat yang diucapkan Reza membuat Aris ingin runtuh seketika. Hanya saja, ia selalu merasa setiap orang sudah memiliki masalah hidup masing-masing, dan ini masalah pribadinya.

Reza berdiri, menghampiri gerobak yang diserbu pembeli. Tak lama, ia kembali membawa satu mangkuk protein, karbohidrat, serat, dan lemak. Perpaduan kompleks berisi simfoni kehidupan. Hangat. Utuh. Sederhana bagi sebagian orang, mewah bagi yang masih menakar beban.

“Lu nggak pesen?”

Aris masih belum selesai dengan dirinya. Jika ia menyentuh satu mangkuk, artinya ia memilih dirinya, meski hanya sekali. Namun, jika tidak, ia harus cukup dengan membayangkan aroma yang menyegak ke hidung.

“Nanti aja,” jawab Aris, menyabarkan perut.

Reza tak mendesak. Ia menunggu Aris bebas dari ragu.

Sementara itu, Aris memandang semangkuk bakso di hadapannya umpama menatap makna hidup. Tidak semua yang melekat dalam genggaman menjadi milik. Ada yang hanya singgah untuk menguji, ada yang menetap tanpa bisa disentuh.

***

Malam turun tanpa suara. Aris belum memutuskan. Ia masih duduk di tempat yang sama, menghitung bukan hanya angka, melainkan cara bertahan, cara menerima, cara memberi tanpa sisa, di dunia yang jarang sekali bertanya, “Apakah kamu bahagia hari ini?”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Sesat Club
Nu
Novel
Love Letter
Benedikta Sonia
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Novel
Bronze
Imprisoned Voice
IyoniAe
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setiap Kali Air Matanya Menetes
muhamad Rifki
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bronze
Gema yang pulang ke rumah kosong
Febri Muhamad mughni
Novel
Rajendra
Nath
Novel
Risya & Reino
Aishimazaki
Novel
TERLANJUR MENCINTA
L.W
Novel
Bronze
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Novel
Gold
Hwaiting 2 Dream Comes True
Mizan Publishing
Novel
Mochi Messages
Fairamadhana
Flash
Bronze
Diriku Milikku
Silvarani
Rekomendasi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Andai Ayah Tak Begitu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
MCK di Ujung Kampung
Jasma Ryadi
Novel
Mereka di Sini
Jasma Ryadi
Flash
Aku dan Sebatang Rokok di Tangannya
Jasma Ryadi
Flash
Senja yang Dilepas
Jasma Ryadi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Flash
Gema yang Redup
Jasma Ryadi
Flash
Akar di Kepala Ibu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setan-Setan dalam Rumah
Jasma Ryadi
Flash
Museum Kenangan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mana Paket Saya?
Jasma Ryadi
Flash
Bagaimana Jika Aku Menjadi Umbi-Umbian?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rasa yang Tak Bisa Kembali
Jasma Ryadi
Flash
Ekuinoks
Jasma Ryadi