Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak tahu kapan semua ini dimulai. Mungkin sejak kecil, saat dunia terasa terlalu nyaring untuk telinga yang peka, terlalu tajam untuk hati yang belum dilapisi perisai. Atau mungkin sejak pagi itu. Pagi saat aku naik angkot menuju ujian tulis masuk universitas.
Aku ingat jelas: tangan dingin, napas dangkal, pandangan tertuju pada jendela yang buram. Kursi belakang angkot berderit di bawah tubuhku. Kota masih pagi, tetapi dadaku sudah malam.
Lalu, dia naik. Seorang laki-laki. Tinggi. Rambutnya awut-awutan. Tatapannya tenang serta dalam, seperti seseorang yang memiliki tujuan pasti di balik penampilan yang tidak menyakinkan.
Dia duduk di sampingku, menoleh, dan bertanya, “Mau ke kampus juga, ya? Ujian tulis?”
Kalimat itu membelah kesadaranku. Nadanya. Caranya mengucap dengan tatap yang ramah. Aku mengenalnya. Pernah mendengarnya. Dalam mimpi.
Isi angkot berjumlah lima orang. Aku duduk bersandar di dekat pintu. Dia berada di depanku dengan tangan menempel pada kursi sopir. Di kursi paling belakang ada dua perempuan paruh baya yang memuat belanjaan dari pasar. Satunya lagi, seorang bapak yang merokok dengan muka cuek.
Posisi, semuanya, sama persis dengan mimpi itu—setahun lalu.
Aku yakin tidak sedang bermain-main di alam bawah sadar. Nyata. Kecuali, aku tidak berhenti di satu titik. Kaki berlanjut tanpa melompat pada adegan lain yang absurd.
Mungkinkah yang terasa pernah hadir itu sekadar ilusi perasaan, jejak halus dari realitas lain yang samar, bukanlah ingatan?
Aku jawab pertanyaan dia dengan singkat dan suara bergetar, “Iya.”
Setelah hari itu, kami sering bertemu. Satu kelas, satu jurusan. Juga, sering berada dalam satu kelompok tugas.
Namanya, Dana.
Kami menjadi teman. Akrab. Saling men-support. Hingga, bertahun kemudian, kami bekerja bersama di kantor riset kecil milik dosen tua yang sabar dan pelupa.
***
Sejak bertemu Dana, yang datang seolah menyesap dari mimpi ke kenyataan, hidupku berubah menjadi repetisi yang senyap. Hal-hal kecil mulai terasa ganjil, seakan setiap kejadian telah lebih dulu singgah di memoriku.
Terulang atau mengulang.
Aku turun dari MRT. Berjalan kaki menuju kantor. Melewati berbagai penjual yang menajajakan penyemangat pagi. Di salah satu sudut toko roti, aku mendengar lagu berputar dengan jeda yang identik di jam yang sama. Seorang penjual koran tersandung di titik dan waktu yang sama. Anak kecil menjatuhkan mainannya, lalu menangis dengan nada yang sama dan durasi yang sama.
Kemudian, datang keanehan yang lebih sunyi: kalender di meja kerjaku tak lagi berganti.
Awalnya kupikir lupa mengganti halaman, tetapi di televisi, media cetak, notifikasi semua perangkat atau gawai, sistem kerja—semuanya bersikukuh hari ini adalah 7 Juli.
Satu. Dua. Aku kira hari-hari yang tersendat mungkin bukan berasal dari luar, melainkan ruang dalam diriku yang terperangkap dalam pusaran waktu yang tak terlihat. Hari mungkin tetap bergerak. Aku saja yang tidak melangkah.
Namun, sekarang, sudah sepuluh kali matahari terbit dan tenggelam tanpa tanggal bergeser. Apakah hanya aku yang sadar?
Sore ini, di ruang kerja yang terlalu dingin, aku menatap Dana yang sibuk mengetik. Jemarinya lincah di atas keyboard. Fokus. Mengejar target dan tak ingin diganggu.
Tidak. Aku bosan melihatnya seperti itu dari kemarin, dan kemarin.
Aku mendekat ke sisinya, meski aku tahu dia akan memberikan telapak tangan terbuka. Aku hanya tidak ingin menjadi semakin gila. Ada pola yang harus diubah agar adegan demi adegan tidak lagi serupa, dan pasif.
“Dan, tolong dengerin gua dulu bentar. Lu ngerasa ada yang aneh nggak, sih,” tanyaku pelan sambil mengeser mouse untuk menarik atensinya.
“Aneh gimana?” Dia tidak menoleh. Pandagannya lekat ke layar.
“Gue udah ngelewatin beberapa hari dengan hal yang sama. Dari rumah, perjalanan ke kantor, dan saat kita di kantor. Kayak… semua yang terjadi sekarang terus berulang.” Aku menghela napas sejenak, mengatur emosi. “Bukan cuma itu… lu inget nggak waktu kita pertama ketemu? Itu juga—"
Dana memenggal ucapanku, “Mungkin lu cuma kecapean.” Dia lantas menyandarkan tubuhnya, menatapku dalam.
“Nggak, Dan. Bukan itu… Bahkan kata-kata yang bakal lo ucapin, gue udah tahu.”
Dana berdiri, menepuk pundakku. “Lu bisa tulis itu jadi cerpen atau novel. Siapa tahu viral,” katanya.
Kalimat itu. Lagi. Tiga hari berturut-turut.
Tak ada yang berubah dari gestur, tatapan, dan nadanya. Padahal aku sudah mengganti diksi, menekan kata di tempat berbeda, menyisipkan sela agar terdengar asing.
Aku tak lagi hanya memandangnya dari kursiku. Aku menghampiri. Menguji apakah dia masih akan menjawab dengan cara yang sama.
Sayangnya, buntu.
Aku pulang tanpa arah. Rasanya, ingin mengambil jalur yang lain. Hanya saja, penasaran masih menggumpal. Akankah lampu jalanan di tikungan akan berkedip empat kali sebelum akhirnya padam?
Benar.
Klakson angkot, sopirnya yang menanyakan tujuanku, dan seorang pengendara motor yang nyaris menabrakku—juga masih di sini. Belum ada yang pergi dari siklus ini.
Entah kenapa, aku pun ikut terjebak dalam putaran itu.
Mandi. Makan.
Sesudahnya, aku berdiri di tepi jendela, memandangi lengang yang terus membentang di luar rumah. Aku merasa seakan ada sesuatu di udara, menahan segalanya untuk bergerak.
Tidak.
Kali ini, ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak pernah muncul dalam ingatanku.
Seseorang berjalan di luar pagar, kepala sedikit menunduk, tampak lelah. Tas selempang coklat, kemeja putih berlapis cardigan hitam, celana jeans, dan sepatu loafers.
Siapa dia? Mengapa begitu mirip denganku?
Aku melihatnya membuka gerbang. Masuk ke dalam rumah ini.
Lantas, aku buru-buru turun. Aku berpikir untuk menyapanya, dan memastikan mengenai dirinya yang bagaikan cermin diriku.
Namun, saat sampai di bawah, dia tidak ada. Entah menghilang, atau memang sejak awal hanya bayangan.
***
Mungkin aku sedang berada di titik ekuinoks. Bukan siang, bukan malam. Bukan mimpi, bukan nyata. Hanya diam, menggantung di antara dua kutub yang tak kunjung memilih petunjuk.
Selama waktu belum bergerak, aku akan terus mencatat. Karena mungkin, setiap bait yang kutulis adalah satu-satunya hal yang belum pernah terjadi.
Dan jika esok tetap datang sebagai hari yang sama, setidaknya aku tahu: aku pernah mencoba mengingat.