Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rokok ketiga sudah padam. Sekarang, yang keempat, baru separuh terbakar. Abunya jatuh di atas pangkuan seperti saksi bisu kebiasaan buruk yang tak bisa ditinggalkan. Tidak ada yang bicara soal perceraian malam ini, namun meja di antara mereka terasa seperti berkas pengadilan yang belum ditandatangani.
Si Perempuan menggenggam cangkir kosong. Dulu dia selalu protes kalau kopinya terlalu manis. Sekarang dia tidak peduli, karena yang dia pegang bukan kopi, melainkan mimpi buruk yang tak tahu harus disimpan di mana.
Malam tidak sedang membahas rokok dan kopi pahit. Malam hanya datang mengingatkan, ada hal-hal yang bahkan Tuhan pun malas selesaikan. Barangkali Tuhan pun lelah.
Si Laki-laki tidak ingat siapa yang lebih dulu menyerah. Mungkin cinta memang bukan badai yang berakhir dengan tangisan, hanya dengan diam yang abadi.
“Sudah tujuh tahun.” katanya. Tidak menatap siapa-siapa.
Si Perempuan mengangguk. Ia bisa saja mengoreksi bahwa sebenarnya baru enam tahun delapan bulan, tapi buat apa?
“Kalau cinta itu mahluk,” katanya, “Kau sudah membunuhnya berkali-kali.”
Si Laki-laki tertawa. Tak ada yang lucu. Ia hanya sudah terlalu lelah menghadapi keseriusan.
“Kalau aku pergi malam ini…” Si Perempuan membuka suara, lalu berhenti. “Kamu akan baik-baik saja?”
Si Laki-laki mengangkat bahu. “Entah. Cinta sekarang lebih terlihat seperti burung yang lupa caranya pulang.”
Si Perempuan berdiri. Tangannya gemetar. Ia mengambil jaket, tas penuh pakaian, dan semua yang tak bisa ditinggalkan oleh siapa pun yang pernah mencoba bertahan terlalu lama.
Di luar, malam mengendap seperti air bocor di dapur. Dingin, basah, dan sulit dijelaskan kenapa rasanya bisa sampai ke dada.
“Pergilah, cinta,” Si Laki-laki berkata. “Pergilah! Hari sudah malam. Ibumu memanggil menyuruhmu tidur.”
Pintu tertutup tanpa bunyi.
Di ruangan, hanya sisa asap dan dua cangkir kosong yang kini tidak akan pernah bertegur sapa, lagi.