Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selfie Satu Komando
Cuma niat leyeh-leyeh di warung pantai: kelapa muda, singkong goreng, lalu bubar. Tapi Bu Murni malah punya misi. Sembari mengunyah potongan singkong terakhir, Bu Murni mendongak.
“Kita selfie dulu, yuk! Sayang background-nya bagus gini.”
Delapan perempuan menoleh bersamaan. Beberapa mengerutkan kening. Beberapa refleks menyisir rambut dengan jari.
“Ah, saya udah lepek begini,” kata Bu Erni, menyentuh jilbab yang agak miring.
“Justru biar natural, Bu,” sahut Bu Sari, dengan nada menggoda.
Bu Tati malah menggeleng cepat. “Saya nggak ikut, ya. Pokoknya enggak.”
“Lho, kenapa?” tanya Bu Murni.
“HP anak saya pernah jatuh pas selfie. Retak seret ke hati. Saya trauma.”
“Lho kan yang selfie sekarang bukan anak Ibu, tapi kita?” cengir Bu Ani.
“Justru itu. Yang megang HP siapa? Jangan-jangan kayak anak saya—asal jepret, HP ngambang.”
Yang lain langsung tertawa. Tapi Bu Tati tetap memeluk tasnya, seperti menjaga dompet dan prinsip sekaligus.
“Ayolah, Bu Tati. Sekali aja,” bujuk Bu Ani sambil meraih tangan Bu Tati. “Nggak harus senyum kok, gaya galak juga boleh.”
“Wah, nanti malah HP-nya meledak,” sahut Bu Tati setengah bercanda, setengah serius.
“Kalau meledak, berarti kita semua ikutan viral,” tambah Bu Ani, tak menyerah, lalu menepuk bangku di sampingnya. “Nih, duduk di sini. Aman. Nggak deket laut, nggak deket HP.”
Bu Tati menghela napas. “Ya udah, tapi jangan deket-deket kamera.”
Dan begitulah—tas masih dipeluk, ekspresi tetap datar—tapi Bu Tati akhirnya duduk juga.
Maka dimulailah ritual tak tertulis: penyesuaian posisi dan perasaan.
Bu Lilis duduk di depan, tangan di dagu, senyum malu-malu tapi tak menolak.
Bu Rina menyilangkan kaki seperti model katalog. “Awas kena pasir, Bu,” celetuk Bu Erni, tapi tak ada yang peduli.
Bu Dinda, dari tadi diam, wajahnya lempeng—jelas sedang bete tapi tak ingin ditinggal.
Bu Nunung, paling belakang, malah sibuk memberi semangat, “Ayo senyum dong! Nih aku udah siap pose peace!”
“Bu Umi, geser dikit... aduh, bukan ke sana, ke sini!”
“Eh Bu Murni, jangan depan-depan amat, mukaku nggak kelihatan!”
Bu Ani—paling muda dan paling genit—menyisir rambut ke belakang telinga, lalu mengedip ke kamera.
“Duh, kayak mau ikut audisi,” goda Bu Erni.
“Terserah, yang penting mukaku glowing,” jawab Bu Ani sambil tertawa.
Bu Tati dari tadi pasrah. Duduk saja, tanpa ekspresi. Tapi saat difoto, tangannya reflek ikut gaya dua jari.
“Saya ikut aja deh. Yang penting nggak kelihatan ngantuk.”
Fotografernya? Tukang kelapa muda yang pegang HP seperti megang durian.
“Ibu... ini pencet mana ya? Kok ada tiga kamera?”
Bu Ani langsung berdiri dan maju, seperti baru saja dilantik jadi sutradara.
“Mas, sini. Pegangnya jangan tremor. Dua tangan, ya, bukan satu.”
Tukang kelapa menatapnya, bingung tapi patuh.
“Lurusin posisi. Jangan terlalu ke bawah, nanti muka kita kayak bulan purnama.”
“Terus... pencet yang mana?” tanya si Mas, suara lirih.
“Yang tengah. Tapi tahan napas dulu sebelum pencet. Biar nggak goyang,” perintah Bu Ani mantap.
Ia lalu balik badan ke kelompok, mengangkat alis. “Siap ya semua! Ingat, wajah bahagia, bukan wajah utang!”
Yang lain tertawa, sebagian buru-buru mengatur ulang posisi.
Si tukang kelapa muda menelan ludah. HP-nya terasa berat di tangan—atau mungkin yang berat itu tekanan sosial dari delapan ibu-ibu yang sudah siap pasang gaya.
“Duh, saya pencet aja deh...”
Akhirnya, satu... dua...
Flash.
Hening sejenak.
Semua mengecek layar. Dan di sanalah mereka:
Bu Murni—setengah kedip. Bu Erni—mulut nganga. Dinda—bete total. Ani—tertawa setengah. Bu Sari... santai, senyum lebar. Nunung? angkat dua jari . Umi—mata terpejam. Tati—menatap laut. Kenapa ya?
Detik berikutnya, semua pecah.
Tertawa. Meledak.
“Gagal semua gaya kita!”
“Kayak poster sinetron!”
“Eh aku jelek banget di situ, kenapa nggak ada yang bilang?!”
Tapi justru itu yang membuatnya sempurna.
Gambar itu bukan tentang wajah terbaik. Itu tentang rasa: yang malu-malu, yang menantang, yang bete tapi sayang, yang genit tapi hangat, yang pasrah tapi hadir.
Di satu jepretan itu, tak ada yang benar-benar siap.
Bu Murni langsung kirim ke grup.
Judulnya: "Selfie Satu Komando."
Tak ada yang protes. Tak ada yang minta filter.
Karena yang tertangkap, adalah tawa yang tumpah, dan rasa yang tak bisa diulang.
Inspirasi itu datang dari laut, dan dari wajah-wajah yang tak takut terlihat aneh—selama bersama.
Batu Karas, tempat tawa menyelinap di antara Kelapa Muda.
—Andri Hasanuddin