Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Terapi kota
5
Suka
4,466
Dibaca

Kota ini tidak pernah tidur.

Bahkan saat jam menunjuk pukul dua dini hari, ketika hujan rintik-rintik menampar kaca jendela apartemen, suara masih berdesakan di luar sana. Klakson jauh dari jalan protokol, roda-roda besi menggulung aspal basah, dan suara tukang nasi goreng beradu dengan anjing liar yang menggonggong pada bayangan.

Tiga bulan yang lalu, ibuku meninggal karena serangan jantung mendadak. Ia jatuh di tengah dapur, masih memegang spatula. Aku datang lima belas menit terlambat.

Sejak hari itu, aku kehilangan arah. Jakarta berubah menjadi labirin tanpa pintu keluar. Aku berjalan ke kantor setiap hari seperti orang yang tersesat, menatap papan iklan besar, menyeberangi jembatan penyebrangan, duduk di KRL yang penuh tapi terasa hampa.

Namun anehnya, kota ini tidak menjauh.

Ia tidak mengusirku.

Malah sebaliknya ia mulai memelukku, perlahan, diam-diam.

Di halte bus dekat kantor, ada seorang pria tua yang menjual koran, Pak Heru. Tangannya gemetar saat menyerahkan lembaran berita, tapi senyumnya tak pernah pudar.

“Berita hari ini nggak terlalu menyenangkan,” katanya suatu pagi. “Tapi masih ada cerita bagus di halaman terakhir. Tentang anak kecil yang bantu ibunya jual sayur.”

Aku hanya mengangguk. Tapi sorot matanya seakan mengerti, aku butuh mendengar sesuatu yang tidak terlalu menyakitkan hari itu.

Di warung kopi pinggir trotoar, Mbak Ayu sudah tahu pesananku.

“Americano, no sugar. Kamu selalu datang jam segini, ya? Badan kota hafal kamu, Mbak,” katanya sambil terkekeh.

Kalimat itu mengendap lama di kepalaku. Badan kota hafal kamu.

Mungkin kota ini memang makhluk hidup. Ia bernapas lewat knalpot, berbicara lewat speaker KRL, menangis lewat hujan yang tak diundang, dan menatap lewat mata-mata asing di jalanan. Dan sekarang, ia sedang mengingatku.

Setiap malam Jumat, aku jalan kaki menyusuri trotoar dekat Bundaran HI. Banyak orang aneh di sana: ada yang berlatih tari sendirian, ada yang membagikan puisi gratis, ada juga yang cuma duduk dengan karton bertuliskan “butuh teman bicara.”

Malam itu aku berhenti di depan seorang pemuda dengan gitar tua. Ia menyanyikan lagu lama milik Ebiet G. Ade, lagu yang biasa dinyanyikan ibu sambil mencuci piring.

Aku berdiri membeku.

Air mataku jatuh bahkan sebelum suara gitarnya selesai menggetarkan udara.

Pemuda itu berhenti bermain.

“Lagu ini buat siapa?” tanyanya pelan.

Aku hanya menjawab lirih, “Ibuku.”

Dia tidak bertanya lebih jauh. Hanya menunduk, dan mulai menyanyikan ulang, lebih pelan, seolah tahu: aku perlu mengulang kesedihan itu untuk bisa melepaskannya.

Jakarta tetap bising. Tetap macet, tetap panas, tetap penuh keluhan. Tapi lambat laun aku menyadari, kebisingan ini bukan gangguan. Ia adalah denyut nadi. Ia adalah detak jantung yang membuatku ingat: aku masih hidup.

Kota ini tidak memberiku terapi dalam bentuk yang biasa. Ia tidak menyodorkan sofa empuk dan tisu kotak. Ia memberiku pejalan kaki yang sama-sama lelah, pengamen yang menyanyi meski tidak dipedulikan, tukang parkir yang bersiul di tengah hujan.

Mereka semua adalah bagian dari terapi.

Dan aku perlahan mulai sembuh.

Suatu pagi, aku duduk di bangku taman dekat stasiun. Seorang anak kecil duduk di sampingku, tangannya menggenggam balon biru yang tampak terlalu besar untuk tubuh mungilnya.

Ia menatap langit dan berkata, “Ibu bilang kalau orang yang kita sayangi meninggal, mereka berubah jadi angin.”

Aku menoleh padanya, terkejut.

Anak itu menambahkan, “Makanya aku nggak suka pakai payung. Biar anginnya bisa peluk aku.”

Aku tertawa kecil, lalu menangis. Tidak keras, tapi cukup.

Balon biru itu terlepas dan terbang ke langit.

Kota ini keras, tapi tidak kejam.

Ia bisa jadi penyembuh, tapi tidak memaksa.

Dan aku? Aku masih belajar berjalan di atas trotoar ini. Masih belajar menatap gedung-gedung tinggi tanpa merasa kecil. Masih belajar bahwa kehilangan tak harus disembuhkan sepenuhnya, cukup diterima… sambil terus hidup di tengah riuh kota yang terus bergerak.

Hari ini, aku membuka jendela dan membiarkan angin masuk.

Barangkali … Ibu sedang lewat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Catatan Harian Para Pembohong
hidayatullah
Skrip Film
Ambang
Dessy Oktavia
Flash
Terapi kota
lidia afrianti
Novel
The Interpreter
Heruka
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Novel
Hari Selepas Kepergian Mereka
Rika Kurnia
Skrip Film
Anoksia
Alfian N. Budiarto
Skrip Film
ARKANA
Sherly Amanda Islami Ramadhani
Flash
Bronze
Berkhayal
B12
Flash
Bronze
Jauh Dari Langit
Silvarani
Cerpen
Halimunte Cafe: Please Smile If Possible
Adinda Amalia
Novel
Bronze
PAPA
Hanna Khoiruzzahro
Novel
Circle SMA
AdinAM
Komik
Bronze
Taman Bintang
Mauli
Flash
Bronze
KAYLA
Onet Adithia Rizlan
Rekomendasi
Flash
Terapi kota
lidia afrianti
Flash
Bronze
Luapan Luka Luna
lidia afrianti
Flash
Bronze
Alasan Menjadikanmu Rumah
lidia afrianti
Flash
Ibu, sebenarnya. . .
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Strange Thoughts
lidia afrianti
Flash
Hear You
lidia afrianti
Flash
Cinta Tanpa Pamrih
lidia afrianti
Flash
Bronze
Sandiwara
lidia afrianti
Flash
Discount Friend
lidia afrianti
Flash
Bronze
Lemon Tea
lidia afrianti
Flash
Bronze
Juni Tanpa Ju
lidia afrianti
Flash
Jika Sudah Lupa, Mari kita Bertemu
lidia afrianti
Flash
Lembar Terakhir Si Penulis
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
In The Nick of Time
lidia afrianti
Flash
Jika kita berubah
lidia afrianti