Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Terapi kota
0
Suka
19
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Kota ini tidak pernah tidur.

Bahkan saat jam menunjuk pukul dua dini hari, ketika hujan rintik-rintik menampar kaca jendela apartemen, suara masih berdesakan di luar sana. Klakson jauh dari jalan protokol, roda-roda besi menggulung aspal basah, dan suara tukang nasi goreng beradu dengan anjing liar yang menggonggong pada bayangan.

Tiga bulan yang lalu, ibuku meninggal karena serangan jantung mendadak. Ia jatuh di tengah dapur, masih memegang spatula. Aku datang lima belas menit terlambat.

Sejak hari itu, aku kehilangan arah. Jakarta berubah menjadi labirin tanpa pintu keluar. Aku berjalan ke kantor setiap hari seperti orang yang tersesat, menatap papan iklan besar, menyeberangi jembatan penyebrangan, duduk di KRL yang penuh tapi terasa hampa.

Namun anehnya, kota ini tidak menjauh.

Ia tidak mengusirku.

Malah sebaliknya ia mulai memelukku, perlahan, diam-diam.

Di halte bus dekat kantor, ada seorang pria tua yang menjual koran, Pak Heru. Tangannya gemetar saat menyerahkan lembaran berita, tapi senyumnya tak pernah pudar.

“Berita hari ini nggak terlalu menyenangkan,” katanya suatu pagi. “Tapi masih ada cerita bagus di halaman terakhir. Tentang anak kecil yang bantu ibunya jual sayur.”

Aku hanya mengangguk. Tapi sorot matanya seakan mengerti, aku butuh mendengar sesuatu yang tidak terlalu menyakitkan hari itu.

Di warung kopi pinggir trotoar, Mbak Ayu sudah tahu pesananku.

“Americano, no sugar. Kamu selalu datang jam segini, ya? Badan kota hafal kamu, Mbak,” katanya sambil terkekeh.

Kalimat itu mengendap lama di kepalaku. Badan kota hafal kamu.

Mungkin kota ini memang makhluk hidup. Ia bernapas lewat knalpot, berbicara lewat speaker KRL, menangis lewat hujan yang tak diundang, dan menatap lewat mata-mata asing di jalanan. Dan sekarang, ia sedang mengingatku.

Setiap malam Jumat, aku jalan kaki menyusuri trotoar dekat Bundaran HI. Banyak orang aneh di sana: ada yang berlatih tari sendirian, ada yang membagikan puisi gratis, ada juga yang cuma duduk dengan karton bertuliskan “butuh teman bicara.”

Malam itu aku berhenti di depan seorang pemuda dengan gitar tua. Ia menyanyikan lagu lama milik Ebiet G. Ade, lagu yang biasa dinyanyikan ibu sambil mencuci piring.

Aku berdiri membeku.

Air mataku jatuh bahkan sebelum suara gitarnya selesai menggetarkan udara.

Pemuda itu berhenti bermain.

“Lagu ini buat siapa?” tanyanya pelan.

Aku hanya menjawab lirih, “Ibuku.”

Dia tidak bertanya lebih jauh. Hanya menunduk, dan mulai menyanyikan ulang, lebih pelan, seolah tahu: aku perlu mengulang kesedihan itu untuk bisa melepaskannya.

Jakarta tetap bising. Tetap macet, tetap panas, tetap penuh keluhan. Tapi lambat laun aku menyadari, kebisingan ini bukan gangguan. Ia adalah denyut nadi. Ia adalah detak jantung yang membuatku ingat: aku masih hidup.

Kota ini tidak memberiku terapi dalam bentuk yang biasa. Ia tidak menyodorkan sofa empuk dan tisu kotak. Ia memberiku pejalan kaki yang sama-sama lelah, pengamen yang menyanyi meski tidak dipedulikan, tukang parkir yang bersiul di tengah hujan.

Mereka semua adalah bagian dari terapi.

Dan aku perlahan mulai sembuh.

Suatu pagi, aku duduk di bangku taman dekat stasiun. Seorang anak kecil duduk di sampingku, tangannya menggenggam balon biru yang tampak terlalu besar untuk tubuh mungilnya.

Ia menatap langit dan berkata, “Ibu bilang kalau orang yang kita sayangi meninggal, mereka berubah jadi angin.”

Aku menoleh padanya, terkejut.

Anak itu menambahkan, “Makanya aku nggak suka pakai payung. Biar anginnya bisa peluk aku.”

Aku tertawa kecil, lalu menangis. Tidak keras, tapi cukup.

Balon biru itu terlepas dan terbang ke langit.

Kota ini keras, tapi tidak kejam.

Ia bisa jadi penyembuh, tapi tidak memaksa.

Dan aku? Aku masih belajar berjalan di atas trotoar ini. Masih belajar menatap gedung-gedung tinggi tanpa merasa kecil. Masih belajar bahwa kehilangan tak harus disembuhkan sepenuhnya, cukup diterima… sambil terus hidup di tengah riuh kota yang terus bergerak.

Hari ini, aku membuka jendela dan membiarkan angin masuk.

Barangkali… Ibu sedang lewat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Terapi kota
lidia afrianti
Novel
Bronze
Dua Sisi
Amalia Dwiyanti
Skrip Film
I Didn't Do Anything
Riris Syahadah
Cerpen
Bronze
Pesawat Kertas
Foggy FF
Cerpen
Bronze
TEMAN KATANYA, CINTA RASANYA
Rain dandelion
Novel
Bronze
Alunan Langkah
Wida Ningsih
Novel
I am July
Anakbarunulis
Skrip Film
Kesendirian
Cahaya Muslim P S
Flash
Aku Tidak Jelek
Yaraa
Novel
Innenseite
Ei
Novel
Semesta
langitabu
Novel
Diary untuk Arland
Rika Kurnia
Novel
Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan
Dian Y.
Komik
Bronze
Terb(it)enam
Bayu M. I.
Cerpen
Bronze
APAKAH AKU...SESAT?
Iman Siputra
Rekomendasi
Flash
Terapi kota
lidia afrianti
Flash
Jika kita berubah
lidia afrianti
Flash
Juni Tanpa Ju
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Without You
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
In The Nick of Time
lidia afrianti
Flash
Tumbuhan Pemakan Rahasia
lidia afrianti
Flash
Ibu, sebenarnya. . .
lidia afrianti
Flash
Kenapa kita kura-kura
lidia afrianti
Flash
Jeda Yang Tak Pernah Usai
lidia afrianti
Flash
10 Days Without Permission
lidia afrianti
Flash
Bronze
Lemon Tea
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
The Soundless Tide
lidia afrianti
Flash
Cinta Tanpa Pamrih
lidia afrianti
Cerpen
Jejak Yang Tak Terhapuskan
lidia afrianti
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti