Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ampun, Pa …. Sakit ….”
Masih kuingat jelas bagaimana rasanya, sakitnya ketika pergelangan tanganku dicengkeram keras dan kasar. Ketika tubuh mungilku diseret paksa melewati dapur menuju halaman belakang rumah. Bahkan, aku masih ingat aroma busuk yang menguar ketika pintu kayu nan kokoh itu dibuka, yang seketika menusuk hidung hingga menjalar ke paru-paru.
Nyaris seperti makanan sehari-hari bagiku kala itu, sendirian di dalam bilik sempit bertemankan gulita, sunyi, dan kotoranku sendiri sepanjang malam, bahkan sampai berhari-hari.
Aku ingat sekali, semenjak Mama tiada—seingatku saat aku berumur sembilan tahun, Papa mulai bertingkah seolah dia adalah orang paling bengis di dunia.
Papa selalu memarahiku dan menyebutku “anak nakal”, bahkan jika aku hanya melakukan kesalahan kecil seperti terlambat datang saat dia memanggilku untuk mengambilkannya minuman setan itu. Dan yang lebih parah, ketika tiga kali aku melakukan kesalahan, maka bilik bekas toilet di halaman belakang akan menjadi tempatku bernaung untuk sementara.
Papa menamai bilik seluas tiga kali tiga langkah itu “ruang belajar”. Tentu saja itu sangat berbanding terbalik dengan maknanya secara harfiah. Belajar, bagi Papa, adalah supaya aku tak lagi membuat kesalahan. Gampangnya, itu adalah ruang tempatku belajar agar selalu menuruti perintahnya dengan sigap dan cekatan.
Aku bukannya tidak mau berbakti padanya, atau sama sekali tidak menyayanginya. Aku hanya membenci dia yang selalu menginginkan minuman setan itu. Minuman yang selalu membuatnya seperti orang tak waras yang sukanya hanya marah dan menyumpah, sebagaimana setan dari neraka.
Padahal Papa dulunya bukan orang yang seperti itu. Aku masih ingat saat dia menjadi cinta pertamaku, anak gadis satu-satunya. Mama sering bercerita, kalau sejak lahir aku takkan mau tidur sebelum berada di pelukan Papa. Sementara, Papa selalu—dengan senyum hangatnya—memanjaiku bak seorang putri raja paling beruntung di dunia.
Andai Mama masih di sini, berada di sisi Papa—di sisiku, pasti aku tidak akan tumbuh sebagai wanita yang harus menderita. Jika Papa masih seperti dulu, aku takkan terjebak cinta semu seorang bajingan yang tega meninggalkanku demi wanita lain, tepat saat aku berjuang setengah mati demi melahirkan iblis kecilku.
Lagi-lagi, aku mengotori pigura berharga ini dengan air mata. Segera kuenyahkan air itu dari wajah tersenyum Mama yang sedang memangku versi kecil diriku. Lalu, kubelai lembut wajah Mama dengan ibu jari, berkali-kali, sambil mengenang betapa bahagianya aku dahulu. Namun, kenanganku membuyar seketika tatkala bunyi gelas pecah bergema dari kamar sebelah. Aku pun berdecak, lantas secara refleks meremas ujung pigura.
“Nayla!” seruku sekuat tenaga.
Kuletak pigura di atas ranjang sebelum bangkit. Langkahku besar saat menuju ke sumber kegaduhan itu berada. Kubuka pintu kamar dengan kasar, menyaksikan seorang gadis usia tujuh tahun—iblis kecilku, anak dari neraka masa lalu—bergeming di samping ranjang tempat lelaki renta terbaring lemah. Di lantai tak jauh darinya, pecahan gelas dengan genangan air membisu. Wajahnya pucat pasi saat menatapku gamang.
“Ngapain kamu?!” bentakku.
Dia menelan ludah, lalu membalas dengan nada pelan dan putus-putus. “N-nay mau ngasih Kakek obat, Ma ….”
Kudekati dia. “Obat apa yang mau kamu kasih, ha?” tanyaku kasar, lalu merampas bungkus obat dari tangannya yang bergetar hebat.
Kuperhatikan obat itu, ternyata bukan yang seharusnya diberikan pada sosok menyedihkan yang hanya bisa terbaring membisu itu.
“Anak nakal!” hardikku. “Sudah berapa kali Mama bilang, obat kakekmu bukan yang ini!” Kuremas kuat-kuat bungkus obatnya sebelum kulempar begitu saja.
Dia tak menjawab, hanya menatap lantai. Kusaksikan tetes demi tetes air matanya menyatu dengan genangan air di lantai.
Tangan kiriku sontak mengepal erat. Aku benci jika harus melihat wajah iblis kecilku yang terlalu menyerupai bajingan di masa lalu. Bahkan aku lebih benci lagi ketika dia selalu saja tak mengindahkan segala perkataanku. Maka, tanpa perlu repot-repot memarahinya, kucengkeram sebelah lengannya. Kutarik dia dengan kasar menuju tempatnya yang seharusnya.
“Ampun, Ma …. Nay minta maaf,” dia memelas. “Jangan ke ruang belajar, Ma ….”
Semakin dia memohon ampun, tak peduli seberapa tampak menyedihkan kondisinya, maka semakin bergeloralah hasratku untuk segera melemparnya ke sana. Kulakukan ini demi kebaikannya, supaya dia belajar menjadi iblis yang baik.
Sambil tetap mencengkeram pergelangan tangannya, sebelah tanganku membuka palang yang mengunci pintu ruang belajar. Aroma busuk yang familier menyeruak seketika, mengingatkanku akan betapa jijiknya aku pada hidupku dahulu.
Kupelototi dia ketika berucap, “Tiga hari! Jangan nangis dan belajar dari kesalahan.”
Lalu, kucampak dia hingga terjerambab tak berdaya. Anak malang itu masih sesenggukan ketika aku menutup pintu dan memasang palangnya kembali.
Jadi begini rasanya punya anak nakal? Aku mendesah miris, menahan dada yang panas menggema. Sepertinya aku mulai paham apa yang Papa rasakan dulu.
Setiba aku di kamarku, kulirik jam dinding di atas meja rias. Sekarang memang waktunya Papa minum obat. Maka, kuambil botol berisi pil warna merah dari dalam laci lemari. Kemudian, dengan langkah ringan aku mengambil segelas air putih sebelum menuju tempat papaku yang renta itu.
Kuperhatikan kedua matanya yang memelotot kalut melihatku. Aku tersenyum menghina karena hanya itulah yang bisa dia lakukan saat ini. Susah payah kutarik dia menegakkan kepalanya supaya gampang meminum obat.
“Ayo, Pa, minum obatnya. Ini yang terakhir, kok, Anggi janji. Supaya Papa bisa cepat nyusul Mama.”
Kini segalanya beres. Kututup pintu kamar perlahan, membiarkan pria tua itu mengais udara dari pernapasannya yang menyempit. Masih di depan pintu kamarnya, kupejam mataku. Setelah ini, mungkin waktunya aku yang menyusul Mama. Namun sebelum itu, Nayla perlu belajar lebih banyak lagi.[]