Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berdiri di depan restoran ikan. Asap dari dapur terbuka menari di udara sore yang lembap. Bau bakaran, arang, dan sambal menyelinap ke lubang hidung—membangkitkan sesuatu yang sudah lama kupendam. Langkahku ragu, seolah hanya satu kaki yang ingin masuk, sedangkan yang lain masih tertambat di masa lalu.
Ya, aku benci ikan. Bukan karena rasanya. Bukan karena tulangnya. Namun, karena ikan adalah luka. Bau amisnya adalah ingatan, dan dagingnya adalah dendam yang tak pernah bisa matang sempurna.
“Ayo, masuk,” kata Dani, sambil menepuk pundakku. Kemudian, dia menarik lenganku.
Tawa teman-teman sudah terdengar dari dalam—hangat, sumringah. Mereka menyambutku dengan riang. Ini hari yang, katanya, patut dinikmati: hari jalinan keakraban bagi kami, mahasiswa baru, satu jurusan, satu kelas.
Aku membeku. Ada luka yang kembali terbuka, padahal sudah kukunci rapat-rapat.
“Lu sakit?” Dani menatapku.
Aku menggelengkan kepala, lalu memilih tempat duduk di pojok meja panjang. Memang, ekspresiku tak seharusnya memantulkan kegelisahan. Tak ada niat merusak suasana, Hanya saja, sesuatu yang mungkin bagi mereka biasa, justru bagiku sebuah siksaan.
Waktu perlahan bergeser—bukan di kepala, melainkan di dada. Aku tak sadar tengah berada di restoran. Sebab, kakiku seakan telanjang di lantai semen dingin. Ember plastik biru penuh ikan menganga di depanku. Inilah suasana rumah beberapa tahun silam, kala umurku masih 10 tahun.
Di rumah, kami semua laki-laki. Empat jiwa pemimpin, empat mulut, tetapi hanya satu tangan yang mengurus dapur: aku.
Aku anak tengah. Tidak terlalu besar untuk didengar, tidak terlalu kecil untuk dikasihani. Kakak laki-laki selalu benar. Adik bungsu selalu disayang. Sementara aku? Penjaga tungku dan asap. Juga, penanggung jawab bau.
Setiap malam, Ayah dan Kakak pergi memancing. Di sungai, di bendungan, di rawa—di mana pun yang ada ikan. Mereka pulang tengah malam, kadang menjelang subuh, membawa ember plastik yang gemuk oleh air keruh dan ikan yang setengah mati.
Aku bangun pagi, menemukan ember itu di dapur. Lendir dan darah menempel di sisinya. Ibu sudah lama tak ada. Jadi, tugas membersihkan dan mengolah ikan diwariskan kepadaku. Tanpa upacara, tanpa kata-kata. Hanya satu kali perintah, dan sisanya adalah kebiasaan yang menindih.
Pernah suatu pagi aku mencoba bicara baik-baik kepada Ayah, “Aku nggak kuat, Yah. Baunya bikin mual.” Ayah hanya menatap dari ambang pintu, matanya kosong, suaranya datar. “Kamu laki-laki. Jangan manja!” Kalimat itu seperti palu. Tak panjang, tetapi menghancurkan.
Di lain hari, aku pulang sekolah dalam keadaan demam. Tubuh gemetar, kepala berdenyut. Namun, di ruang sepetak untuk memasak sudah ada ikan gabus besar menggantung.
“Bersihin dulu!” suruh kakakku. “Nanti keburu bau.”
Aku menghela napas berat. “Aku istirahat dulu, ya, Bang?” jawabku, memohon sedikit pengertian.
Alih-alih bertanya mengenai kondisiku, dia malah menendang pintu dengan sangat keras. Aku terpaku. Jantungku serasa dihantam tinju olehnya.
“Gue nyari ikan capek-capek buat kita makan,” bentaknya, kasar dan tinggi, dengan gestur menantang. Menantangku untuk menyediakan pilihan lain di meja makan. Mungkin.
Aku lantas bilang bahwa aku tidak suka ikan. Anyir yang keluar ketika menyianginya ibarat sembilu yang menusuk lambungku.
Ayah muncul dari belakang kakakku. Aku kira akan ada pembelaan untukku. Nyatanya, suluh kian bertambah.
“Kamu nggak suka ikan, tapi kami suka.” Kalimat Ayah menggaung tajam. “Jangan males!” tandasnya.
Aku menunduk. Tak menjawab. Tak memiliki ruang sedikit pun untuk mengeluh dan jujur.
Tanganku langsung menggenggam pisau dapur dengan pergelangan lemah. Tubuh hanya terisi angin dari pagi.
Bau amis ikan itu memenuhi lidahku sampai aku muntah beberapa kali karena tetap harus meembuang sisik, memotong sirip, dan menyingikirkan isi perutnya. Kadang, aku mengolahnya sambil menangis, tetapi air mata tidak pernah terasa cukup asin untuk mengimbangi rasa.
Hari itu, aku benar-benar kesakitan. Demam. Menggigil. Pandangan nyaris kabur. Kepala bak ditusuk ribuan jarum.
Mereka tak tahu dan tak mau tahu wajah pucatku. Tak ada yang peduli. Mereka hanya mau malam itu akan ada ikan hasil buruan mereka yang tersaji lezat di piring makan. Bumbunya harus pas dan meresap, serta harus ada pendamping selera: sambal.
Aku harus memasaknya dengan sepenuh hati. Selalu. Tak pernah setengah-setengah. Aku pun tak ingin menyia-nyiakan rezeki yang datang, tetapi di sisi lain, aku kenyang duluan. Kenyang oleh segala proses yang harus kulalui demi menyajikan hidangan ikan yang pantas dinikmati.
Hampir setiap hari ikan menjadi sajian utama di rumah. Aku hanya menyentuhnya—tak pernah benar-benar memakannya. Rasa penasaran datang sesekali, seperti ombak kecil yang tak pernah cukup kuat untuk menyeretku masuk.
Bertahun-tahun, aku berkawan dengan segala jenis ikan—terutama ikan air tawar. Bertahun-tahun pula, mereka tetap menjadi musuh di pikiranku.
“Eh, ikannya datang tuh!” Suara Dani menyentakku dari lamunan, menghempaskanku kembali ke kenyataan. Tiga piring besar diletakkan pelayan di atas meja. Ikan nila bakar, ikan goreng garing, dan ikan bersaus padang yang merah menyala.
Teman-teman berebutan. Tangan-tangan mereka menyendok, memotong bagian-bagian ikan. Mereka larut dalam dalam kegembiraan.
Aku diam. Tanganku kaku. Napasku pendek. Mataku memandangi ikan-ikan itu umpama memandangi tubuh-tubuh dari cerita yang tak pernah selesai, yang tak pernah menanyakan kesediaanku untuk terus terlibat di dalamnya.
Lidahku pun pahit. Ada ruang di dalam dadaku yang tiba-tiba menyempit. Aku bingung, terkurung dalam situasi yang tak memberiku jalan untuk lari.
Dani melirik ke arahku. “Lu nggak suka ikan?”
Aku balik menatapnya beberapa detik. Tak perlu penjelasan. Tak akan cukup kata.
Kuambil sepotong nila bakar. Kupisahkan durinya dengan hati-hati. Kumasukkan ke mulut dengan menarik angin turut, bersamaan. Asin, manis, pedas berpadu dalam kelembutan. Akan tetapi, di balik semua itu, ada rasa besi dan rasa tubuh kecil yang dulu tak punya pilihan.
Aku mengunyah pelan. Menelan perih. Aku makan bukan karena lapar, melainkan karena aku ingin tahu: apakah luka bisa sembuh dengan cara yang sama ia dibuat?