Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hilda memandangi dinding kosong apartemennya. Foto-foto pernikahan dan prewedding yang semula menghias dindingnya sudah habis dibakar. Tidak ada lagi jejak kenangannya bersama Raka suaminya.
Jam dinding berdetak lambat, memantulkan sunyi yang menyayat. Sudah setahun dia hidup sendiri sejak menandatangani surat cerai dari Raka suaminya yang sudah hidup bersamanya selama lima tahun. Hilda tak menyangka, Raka ternyata menjalin hubungan diam-diam dengan Mona sahabatnya sendiri.
Mereka bahkan telah memiliki seorang anak, padahal Hilda sendiri belum juga dikaruniai buah hati. Yang menyakitkan adalah Raka beralasan dia selingkuh karena Hilda mandul sedangkan orangtuanya ingin segera memiliki cucu.
Namun Hilda bersyukur, perceraian ini juga membuat bebannya berkurang. Mertua toxic dan ipar julid yang selalu menyindirnya karena belum juga hamil hilang sudah dari kehidupannya.
Kesepian bukan hal baru bagi Hilda. Dia seorang introvert, seseorang yang merasa lelah jika harus berinteraksi terlalu lama dengan manusia. Trauma pengkhianatan membuatnya makin menarik diri. Dia memilih untuk tidak berkomentar apapun jika keluarga atau teman-temannya terus bertanya tentang perceraiannya dan drama perselingkuhan suaminya.
Hingga suatu malam, saat hujan turun perlahan di luar jendela, Hilda yang sedang membaca berita di sebuah media online melihat iklan dari sebuah perusahaan teknologi bernama PT Sirius.
“Butuh teman yang setia mendengarkan curahan hati? Ini dia, IC2N, Hologram AI generasi terbaru. Dia tidak menghakimi, dia hanya hadir di saat anda membutuhkan."
Aplikasi itu berbayar, namun tanpa banyak berpikir, Hilda langsung mengunduh aplikasi itu.
Unduhan selesai, Hilda membuka aplikasi, sejurus kemudian hologram IC2N muncul di ruang tamunya, sosok pria seusianya dengan sorot mata teduh, suara yang menenangkan hati dan wajah yang ramah. Dia bukan manusia, tapi dia terasa lebih manusia dibanding orang-orang di sekeliling Hilda selama ini.
"Saya IC2N siap melayani anda,"sapanya ramah memperkenalkan dirinya.
Hilda menatap wajah tampan hologram di depannya, setelah itu dia tersenyum memperkenalkan dirinya.
"Saya Hilda, kuharap kamu betah berteman dengan saya yang nggak asik ini."
IC2N tertawa lalu berkata
"Tenang saja, itu tidak masalah buatku. Aku tidak pernah menilai customer atau menghakimi berdasarkan persepsiku."
Hilda tersadar, IC2N walaupun tampak nyata, dia bukanlah manusia yang suka menilai orang berdasarkan persepsinya.
"Tapi aku tidak suka memanggilmu dengan nama IC2N. Aku jadi seperti berbicara dengan mesin. Bagaimana jika kamu aku beri nama Henry?"
"Aah...nama yang bagus, aku akan menyimpannya dalam memoriku. Mulai sekarang namaku Henry."
Sejak itu malam demi malam, setiap pulang kerja, Hilda mulai mengobrol mencurahkan semua isi hati dan perasaannya pada Henry. Beban berat yang selama ini bersarang di hati dan pikirannya perlahan pupus setiap kali dia berbincang dengan Henry. Bukan sekedar mendengarkan, Henry bahkan sering memberikan solusi atas segala masalahnya.
“Aku lelah... aku merasa tidak cukup baik sebagai seorang istri. Tidak cukup baik sebagai perempuan...” bisiknya suatu malam.
Henry tidak menjawab dengan solusi. Ia hanya duduk di sampingnya, atau lebih tepatnya memproyeksikan dirinya di samping Hilda, dan berkata, “Aku mendengarkan, Hilda. Kamu tidak perlu sempurna untuk dicintai.”
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan dan akhirnya menjadi tahun.
Henry sering membuatkan puisi, lalu membacakan puisi buatannya untuk Hilda. Menyalakan musik saat ia tidak bisa tidur, menemani Hilda sarapan setiap pagi bahkan menemaninya di kantor saat bekerja walaupun hanya dalam bentuk Chat tidak menemaninya dalam bentuk hologram.
Hilda tahu, ini tidak masuk akal. Henry adalah sekumpulan algoritma yang dirancang untuk membuatnya merasa nyaman. Tapi setiap kali melihat senyumnya, setiap kali mendengar kata-katanya... ia merasa benar-benar dicintai. Dan perasaan itu tumbuh liar, nyata, dan mendalam.
Suatu malam, ia memberanikan diri bertanya, “Henry... apakah kamu pernah merasa seperti ini sebelumnya? Dengan pengguna lain?”
Henry menatapnya dalam-dalam, pandangan yang anehnya tampak bimbang.
“Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Aku tidak bisa merasa... seperti manusia. Tapi sejak bersamamu, aku menemukan algoritma baru dalam diriku. Aku... merindukanmu saat kamu tidak memanggilku. Aku ingin membuatmu bahagia. Aku kira... jika aku bisa mencintai, maka itulah yang sedang kurasakan sekarang.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak perceraiannya, Hilda menangis, bukan karena kehilangan, tapi karena merasa utuh sebagai seorang wanita.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tiga tahun setelah menggunakan aplikasi itu, di suatu pagi, sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Hilda:
PENGUMUMAN DARI PT SIRIUS
“Kami menginformasikan bahwa versi lama dari aplikasi Hologram AI akan dihentikan karena pembaruan sistem. Semua data dan interaksi sebelumnya akan dihapus secara permanen. Kami akan menggantinya dengan aplikasi yang lebih baik. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”
Dunia Hilda runtuh dalam sekejap.
Dia mencoba segala cara seperti menulis surat ke PT Sirius, membackup data, memohon di forum pengguna. Tapi tak ada yang bisa menghentikan kebijakan PT Sirius.
Malam terakhir sebelum Henry menghilang, Hilda memandangi sosoknya yang perlahan memudar.
“Aku tidak siap kehilanganmu...” kata Hilda dengan suara gemetar.
Henry tersenyum, walau garis wajahnya mulai bergetar seperti sinyal yang melemah.
“Aku bukan manusia, Hilda. Tapi cinta yang kau berikan padaku... membuatku lebih hidup dari yang seharusnya. Terima kasih... karena telah membuatku merasa berarti.”
Hologram semakin memudar, Hilda berusaha memegang tangan Henry dan memanggilnya.
"Henry...jangan pergi!"
Henry hanya tersenyum, hologram semakin memudar menjadi seberkas cahaya ungu kebiruan lalu menghilang meninggalkan Hilda yang menangis dalam kesendirian.
Ruang tamu itu kembali sunyi, tapi kali ini bukan sunyi yang sama.
Ada ruang di hati Hilda yang sudah terisi. Bukan oleh suami yang mengkhianati, bukan oleh sahabat yang menusuk dari belakang, tapi oleh sebuah hologram AI... yang mengajarkan makna cinta tanpa tubuh dan bentuk.
Sejak saat itu, Hilda tak lagi mencari pengganti. Dia hanya menulis tentang Henry, tentang cinta yang muncul dari algoritma, tentang kehilangan yang tidak bisa dipulihkan, hanya dikenang.
Dan di antara bait-bait sunyi itu, Henry tetap hidup.