Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di masa depan yang tak terlalu jauh, seorang ibu berdiri di depan pintu keberangkatan bandara. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut terbang, tapi karena harapannya kini sedang bersiap lepas landas.
Di sisi kanan, Gendis menggenggam erat koper mungilnya. Penuh semangat dan ceria. Di sisi kiri, Zain menggendong ranselnya sambil sesekali menatap langit-langit bandara, seperti mencari makna di balik cahaya lampu. Dan di depan mereka, Arumi berlari kecil, rambutnya terayun riang seolah tak sabar menjelajahi dunia.
Ibu mereka tersenyum. Di masa lalu, ia pernah menulis sambil menahan lelah, belajar edit video sambil menyuapi, memahami algoritma pemasaran sambil mendengarkan celoteh anak-anaknya. Tapi hari ini, dunia sedang menyaksikan hasil keteguhan itu.
Mereka pun melayang di udara, naik pesawat untuk pertama kalinya bersama. Tangis kecil Gendis saat lepas landas, tawa Zain saat melihat awan dari jendela, dan pekikan senang Arumi saat pramugari menyapanya. Sang Ibu mengabadikan semuanya, tidak dengan kamera mahal, tapi dengan hatinya yang penuh syukur.
Bandung menyambut dengan roti hangat Sidodadi, varian Franz yang jadi favorit mereka. Mereka duduk di trotoar kota, tertawa karena Arumi mencocol rotinya ke Sambal Padang.
Jakarta menghadiahkan salju palsu di tengah panas kota. Zain mematung di depan iglo, sementara Gendis menggenggam tangan Ibunya erat dan berkata, “Nanti kalau kita ke Turki, saljunya asli ya, Bu? Terus kita lanjut ke Mekkah.”
Di Kota Tua Jakarta, mereka duduk di bawah pohon besar depan Museum Fatahillah. Ibu bercerita tentang sejarah, tentang perjuangan. Gendis mendengarkan, Zain merekam suasana dan Arumi mencoret-coret dengan krayon di buku gambar kecilnya.
Yogyakarta, dengan hamparan sawahnya, menyihir Gendis. Dari balik jendela kereta, dia menulis di buku kecilnya, mewarisi darah penulis Ibu. Zain tetap diam, tapi matanya penuh cahaya. Arumi menari kecil di lorong kereta, membuat penumpang lain tersenyum.
Di Malaysia, mereka berfoto di depan Menara Kembar. Bagi si Ibu, kemegahan bangunan itu tak sebanding dengan megahnya rasa kebersamaan dengan anak-anaknya. Di setiap kota, di setiap perjalanan, ia bukan hanya Ibu. Ia adalah sahabat, guru, pelindung, dan tempat pulang.
Mereka tak hanya mengunjungi tempat-tempat mainstream. Kadang mereka memilih desa kecil dengan sungai jernih, pasar lokal dengan aroma rempah yang menggoda. Karena mereka tahu, dunia terlalu luas untuk dijelajahi dengan langkah biasa.
Dan di setiap malam yang sunyi, setelah doa-doa panjang dipanjatkan bersama, Ibu berbisik kepada anak-anaknya, “Ibu mungkin bukan orang paling kaya, tapi kita punya Allah, dan kita saling punya. Itu sudah cukup untuk menaklukkan dunia.”
Anak-anak terus tumbuh, dan mereka tetap satu tim. Tim yang saling melengkapi. Tim yang tak dibentuk oleh kesempurnaan, tapi oleh cinta yang tak pernah putus. Karena tujuan hidupnya bukan hanya menjadi Ibu, tapi menjadi cahaya yang Allah titipkan untuk tiga jiwa luar biasa.
Dan Tuhan, selalu bersama dalam setiap langkah mereka.