Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam mengunci hari. Aku sendiri di dalam bus. Tak ada yang membangunkan. Tak ada yang mengatakan sudah sampai tujuan.
Kulangkahkan kaki turun. Hotel yang tampak sudah tua menyapa mataku. Kondisi sekitar begitu sepi, seperti tengah malam. Padahal, waktu di ponsel masih menunjukkan pukul 19:45.
Memasuki lobi, dingin menyergap tubuhku. Tak seorang pun tertangkap oleh indra. Aku mulai sangsi bahwa ini kenyataan. Mungkin saja aku masih berjalan di dalam mimpi. Namun, setelah kutampar pipiku berkali-kali, aku yakin tidak sedang bermain di alam bawah sadar.
“Kamar lu di lantai 3. Nih kuncinya.” Salman muncul dari arah belakang, mengagetkanku.
Aku tanya keberadaan teman-teman, dia mengatakan sudah istirahat di kamar masing-masing karena kelelahan.
Syukurlah. Aku kira sunyi ini sebuah pertanda. Pertanda aku mungkin salah menapak.
Kakiku mengayun menaiki tangga. Pandangan mengamati setiap sudut. Rasanya, ada banyak tatap yang mengawasiku. Dinding-dinding pun seakan saling berbisik, membicarakanku.
Aku percepat lajuku, dan sampai di kamar 304.
Aku tidak kebagian teman kamar. Salman bilang salahku—aku lelap sepanjang perjalanan.
Sudahlah. Lebih baik aku sambung tidurku agar hari esok cepat datang.
Baru saja menyentuh kasur hotel yang empuk, suara tangisan bergema, menusuk telingaku. Tubuhku gemetar. Seram, takut, dan marah. Ya, aku ingin marah kepada para panitia yang memilih hotel ini, dan menempatkanku sendirian.
Sejak awal, aku sudah curiga bahwa hotel ini…. angker. Keganjilan terasa dari awal pintu masuk. Tidak ada petugas yang menyambut tamu. Semua tempat yang biasanya ada penjaga, kosong dan hening.
Hah!
Abaikan. Kututup kedua telinga. Tangisan itu justru semakin jelas dan dekat. Ia seolah berdiri di depan pintu kamarku.
“Ren! Rendi!”
Namaku mengudara. Aku kenal suara itu. Salman. Akan tetapi, aku yakin yang menggerung-gerung barusan bukan dia.
Aku buka pintu perlahan. Satu tarikan napas dihela sebagai pelatuk seandainya yang berada di balik pembatas ini tidak sesuai dugaanku.
Untungnya…. benar.
Salman berdiri dengan raut pucat. Dia juga membawa aroma tak biasa—ada pandan, melati, menyan, dan dupa yang terbakar.
Janggal.
Aku perhatikan dia lebih dalam. Tiba-tiba kepalanya mengeluarkan darah, mengalir ke muka hingga menceplak pelan di kemeja putih yang dia kenakan.
“Man…. lu…. kenapa?”
Mungkin dia baru saja mengalami kecelakaan. Datang mencariku untuk minta tolong, pikirku.
Tetapi…. begitu dia mengusap darah yang menetes, aku lihat lengannya penuh luka. Di bagian siku, bahkan tulangnya tampak mencuat di antara daging yang hancur.
Tidak. Aku membeku sesaat dengan mulut yang turut bisu.
Kututup pintu segera. Salman menggedor-gedor sembari terus berseru tiada henti.
Apa ini? Di mana aku sebenarnya? Dan…. apakah itu benar Salman?
Setelah suara Salman tak terdengar lagi, aku buka sedikit celah di pintu. Mataku menyapu lorong ujung ke ujung. Aku melangkah melewati ambang pintu, memastikan segalanya lebih saksama.
“Lu nyari siapa, Ren?”
Dia menepuk pundakku. Aku terhenyak. Ingin berteriak, tetapi seperti ada yang mencengkeram vokalku.
“Lu nggak berani tidur sendiri, ya? Ya udah, bareng gue aja. Rame-rame sama yang lain juga,” katanya. Tuturnya jauh lebih halus dibanding sebelumnya.
Aku berbalik. Salman melemparkan senyum kepadaku. Ramah, rapi, dan tenang. Hanya saja, aku tidak lupa tentang darah yang bersimbah di wajahnya beberapa menit yang lalu.
Apakah aku berhalusinasi? Ataukah tertekan oleh pikiranku sendiri yang gentar pada hotel ini?
Derap kaki bergemuruh. Di ujung lorong, bayangan-bayangan samar berjalan bersamaan mengarah ke kami.
Aku terpaku. Menggigil.
Sungguh. Aku berharap sedang berada di ruang yang tak nyata.
Salman memegangi tanganku. “Jangan takut!” ucapnya.
Bayangan-bayangan itu perlahan menjelma diiringi isak yang sesak. Mereka hampir tak lagi berjarak denganku.
Seketika, lantai yang kupijak runtuh. Suasana pun berubah—dari koridor senyap menjadi ruang terang berbau antiseptik.
Para perawat dan dokter terlihat sibuk mengoperasikan berbagai peralatan. Ada yang memasang infus, melakukan EKG, hingga menarik sehelai kain—menutupi wajah seseorang.
Dari arah luar, tangisan mengguruh. Meratap. Merintih. Melangitkan zikir.
Sementara itu, di depanku, ada diriku yang terbujur penuh luka. Di sebelahnya, monitor jantung menunjukkan garis naik-turun yang kian landai.
Ingat. Aku ingat sekarang.
Kami tak pernah benar-benar sampai di hotel. Tak ada perpisahan yang meriah.
Kami, kelas 3-4, mengalami kecelakaan di tol. Bus melaju cepat, kemudian hilang kendali di jalanan menurun.
Kami terperosok ke jurang. Tubuh kami membentur kursi, terkena pecahan kaca, terlempar ke tanah, dan sebagian harus menahan beban bus yang terbalik.
Entah ada yang selamat, atau semuanya bernasib nahas. Yang kuingat hanya satu: senja berganti gelap dalam ketegangan yang tak terucap. Kami ketakutan. Kami menangis. Kami berdoa—memohon ampunan, memohon keselamatan, jika masih ada ruang untuk harapan.
“Ayo, pulang.” Salman menarikku. Teman-teman yang lain ikut menjulurkan tangan.
Aku menatap tubuhku sekali lagi. Tergolek tak berdaya. Sekarat.
Belum. Aku belum mau menyerah. Masih ada yang ingin kupertahankan, meski hanya tinggal serpihan asa.
“Aku masih ingin di sini,” ucapku, bercucuran air mata.