Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku duduk berhadapan dengannya di dalam sebuah kedai kopi di kota Bandung. Suasana cerah dengan angin sejuk selepas hujan menguarkan aroma petrichor yang menenangkan jiwa. Namun, keresahan menyelimuti kami berdua.
Selepas pertengkaran pertama dalam hubungan asmaraku dengannya. Aku seperti terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Apakah begitu menyakitkan untuk saling menyapa dalam kerinduan?
Kulihat dirinya memainkan cangkir kopi di atas meja. Sedangkan wajahnya menunduk tidak menatap diriku, tidak juga berbicara.
Haruskah aku yang memulainya?
“Jadi, apa yang akan kita bicarakan?” Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. “Jika memang kamu ingin mengakhiri hubungan kita, aku rasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan.” Jemariku tergenggam erat dengan perasaan gelisah.
Kutatap lekat wajahnya yang terlihat sangat serius dengan garis rahang yang mengeras. Sepertinya dia tidak bisa menerima apa yang kukatakan. Lalu, raut wajahnya melembut dengan sorot mata yang perlahan berubah menjadi sendu.
Dia, Sakha, kutangkap dari kedua matanya memancarkan kehangatan cinta yang selalu diberikannya untukku.
“Raya …” Kupejamkan mata mendengarnya memanggil namaku. “Menikahlah denganku.” Perlahan kubuka mata dan menatapnya tidak percaya. “Aku tidak ingin menjanjikan apapun, tapi aku pastikan akan memberimu sebuah istana dan kamu satu-satunya yang akan menjadi ratuku.”
Dadaku membuncah karena perasaan bahagia. Kepalaku perlahan terangguk dengan senyuman indah yang sempurna. “Aku pastikan akan menjaga istana yang kamu berikan dan kamu satu-satunya yang akan menjadi rajaku.”
Kini aku paham, tidak peduli seberapa keras aku berusaha mengenyahkan perasaanku kepadanya. Namun, kekuatan dari sebuah mahligai cinta tetap akan menyatukan dua insan yang ditakdirkan bersama.
∞ ∞ ∞