Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Awan mendung menyelimuti kota Bandung. Sudah sebulan kumpulan kelabu itu tak beranjak dari tempatnya berada. Seakan memberi tanda pada langit untuk terus meratap dan menangis.
Nun jauh di sudut kota itu, embusan angin yang dingin menerpa tubuh mungil nan kurus seorang gadis yang meringkuk di balik kain sarung. Beralaskan sisa-sisa kardus dan beratapkan seng tua yang menjadi tempatnya berteduh.
“Ibu … ibu …,” lirihnya. Kedua tangannya memeluk erat perutnya yang kelaparan. Air pun menetes di pelupuk matanya.
Air bah! Air bah! Air bah!
Seketika gadis mungil itu terlonjak. “Ibu!!!” teriaknya.
Dia ketakutan. Ingin segera berlari tapi tubuhnya tidak kuat karena begitu lemah tak berdaya.
“Ada orang di sini! Ambilkan perahu karet!” teriak seseorang. “Ayo, Dek! Kita harus pergi dari sini!”
“Enggak mau,” tolaknya ketakutan. “Aku nunggu Ibu….”
“Ayo, Dek!” Orang itu mengulurkan tangannya. “Kita tidak bisa lama-lama lagi di sini!” Dengan cepat orang itu menariknya ke atas perahu karet.
Gadis itu tak bisa menolak. Dia juga tak punya tenaga untuk memberontak. “Ibu …,” lirihnya. Lalu seseorang menyelimutinya agar tetap hangat.
Pada saat itu, dia melihat sebuah perahu karet terbalik tidak jauh dari tempatnya berada.
Namun, jantungnya berdetak menjadi tidak keruan saat melihat seorang wanita yang memakai daster ungu terlihat mengapung sudah tak bernyawa.
“Ibu? Itu bukan Ibu, kan?” racaunya dengan bibir bergetar.
Hari itu, di kota dengan sebutan “Bandung Lautan Api”, dia tak pernah menyangka harus bertahan hidup melawan air bah juga harus kehilangan satu-satunya wanita yang dia panggil sebagai Ibu.