Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kiran!!!”
Bukkk. “Awww.” Aku meringis. Pasti Kak Elang! batinku kesal sambil mengelus-elus pantatku yang kesakitan. Siapa lagi kalau bukan dia yang memanggilku seperti itu hingga aku terjatuh seperti ini?
Laki-laki itu malah menertawaiku. “Kamu ngapain manjat-manjat pohon sawo? Astaga! Kamu itu kan perempuan tapi kelakuan kayak anak laki-laki!”
Aku mendengkus. “Biarin! Daripada laki-laki kelakuan kayak perempuan!” Seketika tawa Elang terhenti dan dia pun berdeham. “Eh? Aku enggak menyindir Kak Elang, loh!” Aku langsung mengklarifikasi. Tapi, toh, maksudku memang tidak menyindirnya kok!
“Kirain, kamu mau nyindir aku karena enggak bisa manjat pohon.” Aku tak bisa menahan tawaku mendengarnya. Oh, ya ampun! Yang benar saja ada anak laki-laki enggak bisa memanjat pohon! Dan dia itu adalah Elang Kumbara! Tetanggaku yang berusia tiga tahun lebih tua dariku yang sudah kuanggap sebagai kakak sekaligus … ah, sudahlah! Aku tak perlu mengatakannya!
Toh, siapapun pasti akan langsung paham bagaimana aku begitu terpesona dengan dirinya. Bukan karena ketampanannya, bukan! Sama sekali bukan! Dan juga bukan karena dia selalu menjagaku atau melindungiku. Tidak, sama sekali tidak seperti itu!
Hanya saja, aku tak bisa menjelaskan makna pesonaku terhadapnya. Jika pun aku bisa menjelaskannya, mungkin, tak akan ada yang paham dan akan menganggapku sudah gila. Ya! aku tergila-gila padanya, sejak pertama kali hingga kini.
“Ayo, bangun!” Elang mengulurkan tangannya padaku. Tangan yang selalu terulur kepadaku setiap kali aku terjatuh atau setiap kali aku membutuhkannya. Tangan yang selalu kudamba ingin kumiliki bukan sekedar hanya kugenggam. “Kamu itu jangan selalu bikin aku khawatir, Ran.”
Aku menyambut uluran tangannya lalu mnyeret tubuhku untuk berdiri. “Siapa juga yang bikin Kak Elang khawatir?”
“Itu kamu manjat-manjat pohon ngapain coba? Kalau kamu jatuh, kan, aku yang sakit jadinya.” Kulihat Elang bersidekap dan ada kerutan di antara kedua alisnya pertanda dia berbicara serius padaku. Tapi, ada sesuatu dari ucapannya yang membuat hatiku berdesir. Bukan kata-katanya tapi ketegasan nada bicaranya dan perasaan khawatirnya.
Aku menunduk malu, bisa kupastikan mukaku bersemu merah. “Maaf, kak….”
“Jangan diulangi lagi, ya?” Elang mengacak lembut rambutku. “Bentar lagi, kan, kamu masuk SMA, malu dong anak gadis mainnya sama pohon kayak yang suka nongkrong kalau tengah malam itu.”
Aku memutar bola mataku ke atas. Berpikir keras siapa yang suka nongkrong di pohon saat tengah malam. Lalu kemudian kudengar Elang menirukan suara cekikikan seakan ingin menakutiku sekaligus mengejekku. Aku hendak memukulinya tapi dengan gerak cepat dia menghindariku. Jadilah kami saling kejar-kejaran di bawah pohon sawo hari itu.
Aku masih ingat betul kejadian itu, tiga tahun yang lalu. Di mana itu adalah kenangan terakhirku bersamanya sebelum akhirnya dia pergi menuntut ilmu di perguruan tinggi di luar kota. Aku sedih bukan kepalang. Kesedihan itu bukan karena dia pergi meninggalkanku, tapi karena aku tidak berani mengatakan rasa yang kupendam sejak pertama kali untuknya.
∞ ∞ ∞
Hari ini aku di wisuda dan Kak Elang yang sudah lulus dua tahun lalu berjanji akan datang menghadiri acara wisudaku. Dia bilang akan memberiku sebuah kejutan dan aku sungguh sudah tidak sabar dengan kejutannya itu.
Aku sendiri berencana mengutarakan perasaanku padanya. Cinta yang selalu menemaniku selama ini untuknya. Kak Elang harus tahu isi hatiku yang sebenarnya!
“Selamat ya, Ran! Akhirnya kamu jadi sarjana juga bukannya jadi mahasiswa abadi,” Ucapnya memberi selamat. Baru saja aku ingin menanyakan kejutan apa yang akan diberikannya, tetapi dia lebih dulu mengenalkanku pada seorang wanita cantik berhijab yang sedari tadi berdiri di belakangnya. “Ran, kenalin ini calon istri aku. Kebetulan dia lagi ada di kota ini, jadi, sekalian aku ajak untuk menemaniku.”
Seketika raut mukaku menjadi semu tak bernyawa. Hatiku hancur luluh lantak. Wanita itu mengulurkan tangannya padaku hendak bersalaman. Dengan malu-malu dia menyebutkan namanya. “Andini….”
Entah apa yang merasukiku, tapi kubalas uluran tangannya. “Kirana….” Semenjak saat itu, aku mengenal Andini. Wanita yang menjadi pelabuhan terakhir Kak Elang.
Andini mengajariku banyak hal. Tentang cinta dan kesetiaan. Dia tahu aku mencintai Kak Elang dan tidak pernah menuntutku untuk berhenti mencintainya.
Aku mendesah menatap sepucuk surat berwarna merah muda dari Andini. Surat yang diberikannya padaku saat pernikahannya dengan Kak Elang. Surat yang menjadi motivasiku untuk terus mencintai Kak Elang meski aku tahu, aku sama sekali tidak berhak.
Perlahan kubuka kembali, lalu membaca isinya….
Untuk Kirana,
Terima kasih, ya, Ran. Sudah mau mengenalku dan menerimaku sebagai istri Mas Elang. Aku tahu, hal ini sangat berat untukmu. Aku tahu semua itu dari pertama kali kita bertemu dan melihat tatapan matamu saat itu. Maafkan aku, Kiran. Sungguh maafkan aku.
Aku harap kamu akan terus mencintai Elang tanpa batas karena aku tahu bagaimana ketulusan hatimu kepadanya.
Sungguh … aku minta maaf, aku tidak bermaksud mengambil cinta pertamamu.
Salam sayang,
Andini.
Dan begitulah kini, aku masih menyimpan perasaan cinta untuk Kak Elang.
∞ ∞ ∞