Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tetiba malam terasa begitu sejuk jauh dari biasanya. Aku meraih cahaya rembulan, ia hangat tidak membakar seperti sang surya. Malaikat turun menyapaku di balkon kamar, aku menyambutnya datang.
"Apakah ini sudah waktuku pulang? " Tanyaku.
"Belum sayang, tapi Tuhan ingin mengabulkan satu permintaanmu yang paling lama."
"Apa itu? Aku hanya mengingat bahwa aku telah mengantarkan semua harapanku terbang mengudara ke langitNya. "
"Katamu kau ingin berbicara pada ibu malaikat masa kecilmu."
Aku tersentak, mataku berkaca kaca, aku hanya bisa melangkah mengikuti sang malaikat yang tiba tiba datang itu.. Ia menuntunku.. Terbang entah kemana, tempat itu begitu asing tapi penuh sejuk.
Sampailah aku di ambang pintu, akhirnya ku lihat lagi senyum paling indah di bumi itu, sesosok manusia bersayap malaikat yang paling lembut, satu satunya yang mengenalku sebagai gadis paling sempurna, cukup, utuh dan membuang segala amarahku, memelukku selalu sebagaimana anak kecilnya yang lugu.
Hatiku sejuk tapi juga bagai tertusuk, kenangan terputar cepat, teringat lagi semua cerita itu.
Bagaimana ia selalu melihat keindahan hatiku dibalik cara bersikapku yang keliru, bagaimana ia mengajariku membaca dan menatapku penuh harap yang selembut embun pagi yang sejuk, menanyai hari hariku yang bahkan menurutku tidak begitu berharga itu, melihatku bagai mutiara ketika aku saja merasa kecil dengan diriku, ia yang mengajariku berdoa untuk keselamatan hidup dan waktu berpulangku, ia yang mengajariku menyisihkan uang di celengan kecil setiap subuh, ia yang mengenalkanku pada mimpi dan cita cita besar itu, ia yang mempercayaiku dengan jaket cintanya yang kokoh melindungiku dari apapun tanpa melarang ini itu.
Ia yang selalu berkata,
"tak apa belajarlah, aku di belakang menopangmu."
"Tak apa, mencobalah, aku di belakang menjagamu."
Namun ia pula, yang aku hukum dengan dinginku di saat saat terakhirnya.
Ketika orang orang berkata, "kau tidak mau melihatnya untuk terakhir kali?"
Aku menggelengkan kepala kecilku yang tak lagi bisa mengeluarkan air mata sembari teguh dalam hatiku berkata, "orang orang membual semua, malaikatku masih beristirahat di bangsal rumah sakitnya. "
Lalu pelan pelan sembari merajut usiaku sendirian akupun belajar untuk benar benar membaca keadaan.
Bahwa kau memang tak akan pernah kembali pulang.
Kini aku tersadar bahwa satu satunya penjahatnya adalah aku yang terlalu berpangku pada tangan yang seharusnya aku papah tapi aku malah selalu tertidur manja menikmati kasihmu saja.
Waktu berlalu, sampailah aku mendayung kasih mesra dengan Tuhanku, aku yang sudah mulai tahu bahwa waktu tak pernah lagi terputar ulang tetiba saja mendapat satu permintaan paling berharga sepanjang masa.
Katanya, aku boleh merasakan lembut pelukmu dan cium sejukmu yang telah lama aku rindu itu.
Tapi, "apakah pantas? " Pikirku.
Kini aku terdiam, di ambang pintu.. Sembari kedua mataku yang sudah tak terlihat indah dengan kerlap kerlip senyuman yang disenangi orang orang.
Sebab semua hancur, hanya isak tangis yang mungkin mengalun merdu.
"Tuhan, terima kasih telah mengambilnya dari aku yang selalu gagal membahagiakannya, dari aku yang hanya selalu bisa bergelanyutan pada tangannya yang seharusnya aku papah dengan tenang, dari aku yang selalu haus akan kasihnya tapi tak pernah bisa memberikan apa apa," Ucapku di ambang pintu.
..
Malaikat bertanya "sayang, kau tidak jadi melangkah ke sana? Katamu kau begitu merindukannya, kau sudah jauh jauh ke sini dan kesempatan ini hanya sekali sebelum terbentang perjalanan panjangmu untuk Sang Ilahi."
Aku membadai di dalam hati, seolah bertanya dengan suara yang teramat bising.
"Aku gagal menggenggam cita cita yang aku ingin, pun sekarang aku tak punya keberanian melangkah ke tempat yang aku cita citakan karena semua makna yang aku cari telah sirna, aku gagal menjadi bintang yang sepertinya ia inginkan."
Malaikat menepuk pundakku
"Jangan samakan ia dengan orang orang yang menyapamu di ujung gang. Ia tinggal di rumah hatimu yang paling dalam."
Aku terdiam terkejut
"Tanyakan pada hati kecilmu, apakah dia benar benar mungkin memintamu menjadi bintang yang kau sangka."
"Tapi, tapi aku rasa aku bisa dan dia yang dulu mengajariku membaca lalu menanamkan cinta terhadap pengetahuan. "
Malaikat kembali mengulang pertanyaanya,
"Tanyakan pada hati kecilmu, apakah dia benar benar mungkin memintamu menjadi bintang yang kau sangka."
Aku semakin tersedu, hingga gemetar seluruh tubuhku di ambang pintu itu.
Karena aku tahu, sepertinya dia memang sudah bangga padaku atas keberanian dan tekadku untuk terus mencari makna hidup.
Tapi aku saja, aku saja yang tak cukup berani mengambil kepercayaan yang lahir dari hatinya yang tulus lembut memelukku.
"Salam rindu ibu malaikatku, Tuhan dan seluruh semesta begitu serius mencintai dan menjagaku mungkin salah satu benang penopangnya adalah rayuan tulus doamu. "
Itulah pesan terakhirku sebelum aku meminta malaikat kembali mengantarkanku kembali pada kamar tidur sang saksi bisu.