Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sisa Rindu
0
Suka
111
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

“Bu, aku udah dewasa. Bisa nggak Ibu nggak usah terlalu mengawasiku?” 

Aku mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang, walau dalam dada ada gemuruh yang sulit dijinakkan.

Ibu menghentikan ayunan tangannya—baju yang tengah dilipat seakan membeku di pangkuannya. Ia menatapku dengan mata yang tak bisa langsung kuterjemahkan: antara bingung, tersinggung, atau hanya sedih.

“Ikut campur? Maksud kamu apa, Nak?” tanyanya pelan, terhantar tak ingin melukai.

Aku menghela napas. Panjang dan berat.

“Ya, kayak tadi. Ibu neleponin aku berkali-kali cuma karena aku pulang telat. Aku kan udah bilang kalau aku lagi lembur di kantor.”

Ibu tersenyum kecil, tetapi ada retak halus di wajahnya. Aku sadar, ucapanku agak meninggi. Aku terbawa rasa risih yang kerap kali timbul dari perhatian Ibu yang berlebihan.

“Ibu cuma khawatir. Kamu anak Ibu satu-satunya. Kalau kamu kenapa-kenapa, siapa yang bakal kasih kabar ke Ibu?” ucapnya lembut, hampir seperti doa.

Aku mengigit bibir sesaat. “Bu, aku ini laki-laki. Aku bisa jaga diri. Ibu nggak perlu terus-menerus mengkhawatirkanku.”

Ibu tak menjawab. Ia kembali menata baju. Hanya saja, tangannya tampak gemetar sedikit. Gerakannya lebih lambat dari sebelumnya, seolah ada yang hilang dari semangatnya.

****

Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang canggung. Memang, Ibu masih bangun lebih pagi dariku—menyiapkan sarapan, bekal makan siang, bahkan tetap mengingatkanku waktu salat. Namun, aku mulai merasa ada yang berbeda. Ia tidak lagi meneleponku berkali-kali jika aku pulang terlambat. Ia juga tidak lagi bertanya banyak tentang aktivitasku di luar rumah. 

Awalnya, aku merasa lega.

Lalu, aku merasa kosong. Seperti rumah yang tiba-tiba kehilangan pintu. Seperti tubuh yang tak lagi punya bayangan. Ada perisai dalam diriku yang perlahan memudar.

Aku sama sekali tidak bermaksud keras terhadapnya. Aku hanya ingin ia juga memikirkan ketenangannya—merasakan hangatnya pagi tanpa tergesa, menyesap hari dengan utuh.

Sadar. Ini salahku. Aku yang meminta, maka seharusnya tak ada sesal dalam jiwa.

Hah!

Pikiranku kembali ke masa kecil. Ibu sering menyusulku saat aku bermain dengan teman-temanku. “Ayo makan. Kamu udah sholat atau belum? Pulang sekolah ke rumah dulu ganti baju, jangan langsung main!” ucapnya dengan nada yang tegas, tetapi sarat kasih sayang. 

Aku ingat bagaimana Ibu selalu menyuruhku makan lebih dulu, sementara ia hanya duduk di pojok, tersenyum kecil sambil berkata, “Ibu belum lapar.” Padahal, itu sebuah kebohongan. Ia hanya menunggu sisa.

Kemudian, ada masa saat teman-temanku mengejek sepatu bolong yang kupakai. Malam itu, Ibu bergegas mencari pinjaman uang. Ia terlalu gengsi melihat anaknya dipermalukan.

Aku ingat punggungnya yang membungkuk. Tangannya yang terus bekerja, meski malam makin larut. Aku ingin membantu, tetapi ia selalu menolakku dengan suara lembut: “Kamu pasti capek. Biar Ibu aja.”

Aku ingat air matanya yang diam-diam jatuh saat ia pikir aku sudah tidur. Ibu tidak pernah benar-benar membagi lukanya. Ia terlalu ahli menyembunyikan rasa sakit atau semua rasa yang mengoyak raga dan batinnya.

Sekarang, aku berdiri di hadapan batu sederhana yang berselimut tanah dan bunga kering. Angin sore berembus pelan, menyentuh wajahku bak belaian yang dulu sering Ibu berikan.

Aku membungkuk, menyentuh nisan Ibu perlahan. Di antara doa yang lirih dan air mata yang tak bisa lagi kutahan, aku berbisik, “Maaf, Bu. Aku cuma ingin Ibu mencintai diri Ibu sendiri. Tapi ternyata.... cinta Ibu, seutuhnya…. untukku. Kebahagiaan Ibu…. adalah melihatku bahagia. Maaf.”

Kutegakkan lagi kakiku, pamit dari peraduannya. Langit mulai temaram. Bayangan nisan memanjang, seakan memelukku dalam sunyi.

Langkahku menjauh. Namun, hatiku tetap tinggal di sana—bersama suara Ibu yang kini hanya bisa kudengar lewat kenangan.

Rindu pun hanya bisa berbisik, “Bu, bolehkah aku dimarahi lagi? Disuruh makan? Ditelepon berkali-kali?”

Hening menjawab, “Tidak.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Novel
Bronze
Star-crossed
Liz Lavender
Komik
a Hero
Nur.Suji
Skrip Film
Andai Aku Boleh Memilih (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Cerpen
Seberkas Asa dalam Kisah
Aqil Azizi
Cerpen
Senja di Dermaga
aniswlndri
Komik
Tom & Jerry
Antony wijaya
Cerpen
Bronze
SENI KEHIDUPAN
AINUL CHAQ
Cerpen
Bronze
Future
desi lestari
Novel
Gold
Menikahlah Denganku
Bentang Pustaka
Novel
I Will Always...
Wildan Ravi
Skrip Film
Percobaan pertama
Adelaide vina rae
Novel
Bronze
Namia Belum Pulang
Lommie Ephing
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita
Novel
Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal
Putri Zulikha
Rekomendasi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Flash
Maaf, Aku Lelah
Jasma Ryadi
Flash
Bagaimana Jika Aku Tidak Menikah?
Jasma Ryadi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mana Paket Saya?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Penelitian di Dimensi Lain
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Giant's Heart
Jasma Ryadi
Flash
Gema yang Redup
Jasma Ryadi
Flash
Jejak
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka yang Membawa Pertanda
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Firasat Mimpi
Jasma Ryadi
Cerpen
Mereka yang Masih di Dalam
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Satu Kali Lagi
Jasma Ryadi
Flash
Lintang
Jasma Ryadi