Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bu, aku udah dewasa. Bisa nggak Ibu nggak usah terlalu mengawasiku?”
Aku mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang, walau dalam dada ada gemuruh yang sulit dijinakkan.
Ibu menghentikan ayunan tangannya—baju yang tengah dilipat seakan membeku di pangkuannya. Ia menatapku dengan mata yang tak bisa langsung kuterjemahkan: antara bingung, tersinggung, atau hanya sedih.
“Ikut campur? Maksud kamu apa, Nak?” tanyanya pelan, terhantar tak ingin melukai.
Aku menghela napas. Panjang dan berat.
“Ya, kayak tadi. Ibu neleponin aku berkali-kali cuma karena aku pulang telat. Aku kan udah bilang kalau aku lagi lembur di kantor.”
Ibu tersenyum kecil, tetapi ada retak halus di wajahnya. Aku sadar, ucapanku agak meninggi. Aku terbawa rasa risih yang kerap kali timbul dari perhatian Ibu yang berlebihan.
“Ibu cuma khawatir. Kamu anak Ibu satu-satunya. Kalau kamu kenapa-kenapa, siapa yang bakal kasih kabar ke Ibu?” ucapnya lembut, hampir seperti doa.
Aku mengigit bibir sesaat. “Bu, aku ini laki-laki. Aku bisa jaga diri. Ibu nggak perlu terus-menerus mengkhawatirkanku.”
Ibu tak menjawab. Ia kembali menata baju. Hanya saja, tangannya tampak gemetar sedikit. Gerakannya lebih lambat dari sebelumnya, seolah ada yang hilang dari semangatnya.
****
Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang canggung. Memang, Ibu masih bangun lebih pagi dariku—menyiapkan sarapan, bekal makan siang, bahkan tetap mengingatkanku waktu salat. Namun, aku mulai merasa ada yang berbeda. Ia tidak lagi meneleponku berkali-kali jika aku pulang terlambat. Ia juga tidak lagi bertanya banyak tentang aktivitasku di luar rumah.
Awalnya, aku merasa lega.
Lalu, aku merasa kosong. Seperti rumah yang tiba-tiba kehilangan pintu. Seperti tubuh yang tak lagi punya bayangan. Ada perisai dalam diriku yang perlahan memudar.
Aku sama sekali tidak bermaksud keras terhadapnya. Aku hanya ingin ia juga memikirkan ketenangannya—merasakan hangatnya pagi tanpa tergesa, menyesap hari dengan utuh.
Sadar. Ini salahku. Aku yang meminta, maka seharusnya tak ada sesal dalam jiwa.
Hah!
Pikiranku kembali ke masa kecil. Ibu sering menyusulku saat aku bermain dengan teman-temanku. “Ayo makan. Kamu udah sholat atau belum? Pulang sekolah ke rumah dulu ganti baju, jangan langsung main!” ucapnya dengan nada yang tegas, tetapi sarat kasih sayang.
Aku ingat bagaimana Ibu selalu menyuruhku makan lebih dulu, sementara ia hanya duduk di pojok, tersenyum kecil sambil berkata, “Ibu belum lapar.” Padahal, itu sebuah kebohongan. Ia hanya menunggu sisa.
Kemudian, ada masa saat teman-temanku mengejek sepatu bolong yang kupakai. Malam itu, Ibu bergegas mencari pinjaman uang. Ia terlalu gengsi melihat anaknya dipermalukan.
Aku ingat punggungnya yang membungkuk. Tangannya yang terus bekerja, meski malam makin larut. Aku ingin membantu, tetapi ia selalu menolakku dengan suara lembut: “Kamu pasti capek. Biar Ibu aja.”
Aku ingat air matanya yang diam-diam jatuh saat ia pikir aku sudah tidur. Ibu tidak pernah benar-benar membagi lukanya. Ia terlalu ahli menyembunyikan rasa sakit atau semua rasa yang mengoyak raga dan batinnya.
Sekarang, aku berdiri di hadapan batu sederhana yang berselimut tanah dan bunga kering. Angin sore berembus pelan, menyentuh wajahku bak belaian yang dulu sering Ibu berikan.
Aku membungkuk, menyentuh nisan Ibu perlahan. Di antara doa yang lirih dan air mata yang tak bisa lagi kutahan, aku berbisik, “Maaf, Bu. Aku cuma ingin Ibu mencintai diri Ibu sendiri. Tapi ternyata.... cinta Ibu, seutuhnya…. untukku. Kebahagiaan Ibu…. adalah melihatku bahagia. Maaf.”
Kutegakkan lagi kakiku, pamit dari peraduannya. Langit mulai temaram. Bayangan nisan memanjang, seakan memelukku dalam sunyi.
Langkahku menjauh. Namun, hatiku tetap tinggal di sana—bersama suara Ibu yang kini hanya bisa kudengar lewat kenangan.
Rindu pun hanya bisa berbisik, “Bu, bolehkah aku dimarahi lagi? Disuruh makan? Ditelepon berkali-kali?”
Hening menjawab, “Tidak.”