Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada masa ketika aku yakin, suatu hari nanti, aku akan menikah. Membangun rumah, menghias taman kecil, dan merenda ruang tamu yang riang. Dulu, semua itu terdengar seperti kepastian. Namun, sekarang, semua berubah menjadi pertanyaan.
Aku—tiga puluh enam tahun. Seseorang yang di banyak pasang mata: orang tua, sanak keluarga, dan teman, sudah terlalu lama mengenyam kesendirian.
Bukan aku tidak mencari seorang pendamping. Bukan pula menunggu jodoh datang sendiri, bagai hembusan angin yang tak memerlukan perkenalan. Aku hanya lelah dan takut.
“Ayah dan Ibu cuma ingin kamu bahagia,” kata Ibu malam itu. Suaranya terdengar berat. Ada tuntutan dan pengertian yang saling bertaut. “Kami nggak maksa. Tapi sampai kapan kamu mau begini terus?”
Aku duduk di ruang tamu, menatap lantai dengan khidmat. Ingatan kembali ke masa remaja saat mereka menginterogasiku ketika aku pulang larut malam.
“Bu…. Aku bukannya nggak mau,” ucapku pelan sembari menahan haru yang menyesak ke dada. “A…. aku cuma takut.”
Ayah meletakkan cangkir teh ke meja. “Takut kenapa? Kamu sudah mapan, kerja stabil, umur juga cukup. Sama si ini nggak mau. Sama si itu kurang cocok. Nggak ada orang yang sempurna dalam hidup, makanya perlu ada orang lain yang membantu menyempurnakannya.”
Aku ingin menjawab, tetapi kata-kata itu menolak keluar. Aku paham, mereka telah banyak menanggung malu karena perjodohan yang tidak pernah kusetujui.
Hah!
Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa cemas yang bersemayam di dada? Rasa tidak cukup. Rasa bahwa aku mungkin tidak akan pernah menjadi suami yang baik. Bahwa aku tak tahu bagaimana caranya menjadi tempat pulang bagi orang lain—karena aku sendiri kerap tersesat dalam diriku sendiri.
Aku sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan perempuan. Kutata diri dari setiap kegagalan sebelumnya. Nyatanya, aku selalu terhempas sebagai pilihan hidup mereka.
Ibu menatapku lama. “Atau… kamu tidak….?”
Aku menggeleng cepat. “Bukan itu. Aku hanya berpikir: bagaimana kalau suatu hari perempuan yang menjadi istriku sadar—bahwa aku ini biasa saja? Aku nggak bisa membuat dia bahagia seperti laki-laki lain yang lebih sabar, lebih dewasa, lebih….”
“Berhenti!” ucap Ayah, nadanya tegas. “Berhenti membandingkan dirimu dengan orang yang bahkan tidak ada.”
Hening memayungi seketika. Aku tertunduk. Bingung dan limbung.
****
Beberapa hari setelah percakapan itu, aku menekuri diriku dalam-dalam.
Apakah aku akan mati dalam kesendirian? Apakah tubuhku baru ditemukan setelah tetangga mencium bau busuk? Apakah hidupku akan selalu dianggap ‘kurang lengkap’? Apakah cinta harus diwujudkan dalam bentuk rumah tangga? Apakah semua orang harus berjalan di jalan yang sama?
Terkadang, aku merasa bersalah. Bukan karena tidak menikah, melainkan karena membuat orang tuaku kecewa. Aku ibarat menanam luka di hati mereka.
Hatiku pernah hampir utuh, lalu perlahan mengelupas—sebelum retak tak bisa dibentuk lagi. Retak yang tumbuh dari serpihan-serpihan masa lalu yang mengendap. Masa lalu yang membuatku selalu merasa gagal.
Luka itu terus menganga. Upaya penyembuhan terus kulakukan. Hanya saja, ia sudah terlalu lekat dalam badan, menggerogoti setiap tekad yang akan bertunas.
Hari ini, aku duduk di bangku taman, memandangi sepasang kakek-nenek yang saling menggenggam tangan. Tiba-tiba aku ingin menangis.
Tidak. Aku tidak sedang iri kepada mereka. Ada sisi dari cinta yang masih kurindukan.
Mungkin, tidak semua orang ditakdirkan untuk menikah—dan itu tidak apa-apa. Aku bisa mencintai diriku sendiri. Aku juga bisa mencintai orang lain, meski tanpa ada ikatan yang melingkar di jariku.
Dan mungkin, itu cukup. Sebab cinta tak perlu janji yang keras, cukup hadir dan menetap.