Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ratri baru menutup pintu minimarket ketika nyaris bertabrakan dengan laki-laki yang tergesa-gesa membuka pintu sambil menunduk memandang ponselnya. Ratri cepat menghindar ke samping untuk menghindari tabrakan. Begitu tersadar, laki-laki itu langsung mendongak dan segera meminta maaf. Ratri tersentak kaget begitu melihat wajahnya. Diamatinya sosok berperawakan tinggi besar itu dan ia langsung teringat pada temannya sekelas selama tiga tahun semasa di SMA.
“Bendra!” seru Ratri gembira.
Ratri segera mengajaknya ke Warmindo di samping minimarket. Sambil menikmati semangkuk indomie rebus dan teh panas, mereka saling menanyakan kabar; Bendra memulai percakapan tentang kegiatannya selepas SMA yang harus menjaga warung di rumah karena ibunya yang mulai sakit-sakitan; diabetes membuat jantung dan ginjalnya bermasalah. Setahun kemudian ibunya meninggal.
“Maaf, tidak bisa datang waktu itu.”
“Tidak apa-apa. Setelah Ibu meninggal, warung langsung kujual dan aku pergi merantau ke Surabaya: mencari kerja sekaligus mencari seseorang. Aku dapat kerja di sebuah pabrik di kawasan industri Rungkut.”
“Mencari seseorang? Siapa?”
“Istri muda bapakku. Selama di Surabaya, aku berusaha mencari dan mengumpulkan informasi.”
“Kamu juga bertemu bapakmu?”
“Tidak. Laki-laki itu sudah mati dua tahun yang lalu. Dia stroke dan lumpuh selama bertahun-tahun. Aku senang; dia sakit dan menderita lebih lama daripada ibuku. Kualat karena menelantarkan keluarga dan menyakiti hati ibuku."
“Ben!” seru Ratri mencoba mengingatkan.
“Saat masih kecil, aku sangat merindukannya dan berdoa supaya Tuhan mengembalikan bapakku. Aku iri melihat anak-anak diantar sekolah atau bermain dengan bapaknya. Aku juga pernah memaksa Ibu untuk menyusul Bapak ke Surabaya, tapi Ibu hanya menangis sambil mendekapku.” Bendra mengatakannya dengan wajah sendu.
“Kamu sudah bertemu istri muda bapakmu?”
“Perempuan jahanam itu ternyata juga sudah sakit-sakitan. Jadi, yang bisa kulakukan hanya berdoa untuknya: semoga dia menderita lebih lama.”
“Ben...” Ratri begidik melihat sepasang mata penuh dendam di depannya.
“Sekarang aku mencari anaknya.”
“Bukankah dia saudaramu satu bapak lain ibu.”
“Tidak. Anak itu bawaan perempuan jahaman itu. Tidak ada hubungan darah denganku. Bapak sangat menyayanginya dan menelantarkan aku yang darah dagingnya sendiri.”
Bendra tersenyum. Tapi sorot matanya tampak menakutkan. “Hari ini aku berhasil menemukannya!”
Ratri baru membuka mulut ketika Bendra tiba-tiba menelengkan kepala menatap seragamnya.
“Eh, kamu kerja di minimarket?”
“Iya. Selepas SMA, aku merantau ke kota Malang ini dan bekerja jadi kasir di situ,” Ratri menganggukkan kepala ke arah minimarket. “Kenapa?”
“Anak itu juga bekerja di situ, namanya Nimas. Kamu kenal?”
Ratri mengangguk dan langsung teringat sosok mungil Nimas, yang juga jadi kasir, dan tinggal satu kos dengannya.
“Apa yang akan kamu lakukan padanya?” tanya Ratri dengan jantung berdebar kencang.
“Aku akan meminta semua hakku yang sudah dirampasnya selama dua puluh tahun.”
“Ben, aku yakin dia tidak tahu apa-apa tentang keputusan ibunya menikah dengan bapakmu. Bukankah dia juga masih kecil waktu itu?”
“Aku tidak peduli.”
“Hidupnya tidak lebih baik darimu, Ben! Nimas bekerja di sini sejak tiga tahun yang lalu dan mengirimkan separuh gajinya untuk orangtuanya.”
“Peduli setan...”
“Ben, tolong... jangan ganggu dia. Dia teman baikku dan kita juga sudah berteman lama.”
“Jangan ikut campur!”
“Aku tidak bisa tinggal diam,” sahut Ratri.
Mereka berdua beradu pandang. Saling melempar tatapan tajam. Menghujam.