Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mataram, tahun 1742.
Benteng Kapuran berdiri sunyi di bawah langit mendung. Di balik tembok-tembok batu yang retak oleh waktu, pasukan terakhir Laskar Rakyat Jawa bersiap menghadapi kenyataan: mereka dikepung oleh VOC dari utara dan pasukan boneka Kasunanan dari selatan. Di tengah-tengah benteng yang mulai lapuk itu, seorang pemuda bernama Reksawira memandangi pelita yang nyaris padam.
Usianya baru dua puluh dua, tetapi mata dan wajahnya telah menua oleh perang, kehilangan, dan harapan yang tak pernah datang.
“Apa mereka akan menyerang malam ini?” tanya seorang bocah kurir, duduk di sampingnya.
Reksawira tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang kian gelap, lalu membuka surat yang baru diterimanya dari utusan rahasia.
“Tidak. Mereka tunggu kita kelaparan dulu. Mereka tahu air kita tinggal dua kendi dan makanan tinggal untuk semalam.”
Bocah itu menelan ludah. “Kalau begitu… besok kita mati, ya, Kak?”
Reksawira menatap bocah itu. “Kita tidak mati. Kita tinggal di ingatan.”
Bocah itu tidak paham. Tapi ia tak berani bertanya lagi.
Benteng Kapuran dulunya hanya gudang batu kapur yang dijadikan tempat bertahan oleh rakyat yang lari dari kampungnya. Awalnya hanya puluhan orang—petani, nelayan, dan bekas prajurit. Tapi perlahan-lahan mereka berubah menjadi perlawanan. Mereka menolak tunduk pada raja yang bersekutu dengan Belanda. Mereka menolak menyerah pada nasib yang dipaksakan.
Reksawira sendiri bukan siapa-siapa. Ia hanya anak tukang pembuat keris. Ayahnya dibunuh karena menolak membuat senjata untuk VOC. Ibunya mati karena demam saat pelarian. Sejak itu, ia bersumpah: ia akan menjadi pedang bagi rakyat, bukan bagi raja atau kompeni.
Tiga tahun lamanya ia bergerilya. Ia tak punya pangkat. Tapi orang-orang mengikutinya. Mereka menyebutnya Satria Kapuran—panglima tanpa mahkota.
Dan kini, malam ini, mungkin malam terakhir.
Sekitar tengah malam, Reksawira memanggil semua orang ke halaman benteng.
“Aku tidak akan memaksa siapa pun tinggal,” katanya di hadapan mereka. “Ada lorong kecil di sisi timur. Kalian bisa pergi malam ini, selamat. Tapi kalau kalian memilih tinggal… maka malam ini kita akan menulis sejarah dengan darah kita.”
Tak seorang pun bergerak.
Seorang ibu tua melangkah ke depan. “Saya tak bisa angkat senjata. Tapi saya akan rebus air. Untuk mereka yang terluka nanti.”
Seorang pemuda bertopeng kain hitam mengangguk. “Saya tak ingin mati sebagai budak. Biarlah saya mati sebagai manusia.”
Bocah kurir mengangkat tangan. “Kalau semua tinggal, saya juga tinggal.”
Reksawira tersenyum. “Kalau begitu, malam ini kita tak butuh taktik. Kita hanya butuh satu hal: nyali.”
Saat fajar menjelang, senapan pertama meletus.
Benteng Kapuran berubah menjadi medan api dan teriakan. Peluru VOC menghantam tembok tua. Pasukan boneka menyerbu dari belakang. Tapi rakyat tidak mundur.
Reksawira bertarung di garis depan, hanya bersenjatakan tombak dan sorakan rakyat. Ia menyeruak di antara asap dan darah, memimpin dengan suara lantang:
“Jangan serahkan tanah ini pada mereka yang tak pernah menanam benih di sini!”
Seorang prajurit Belanda mengacungkan bayonet ke arahnya. Reksawira menghindar, menusuk balik, lalu tertembak di bahu. Tapi ia tidak jatuh.
Benteng Kapuran runtuh bukan karena rakyat menyerah, tapi karena temboknya benar-benar rubuh diterjang meriam.
Tubuh-tubuh tergeletak. Darah bercampur debu. Dan di tengahnya, Reksawira berdiri, tubuh gemetar, mata menatap sisa-sisa api.
Pagi itu, komandan Belanda berjalan masuk ke benteng yang sudah menjadi abu.
“Berapa yang menyerah?” tanyanya.
Seorang letnan menjawab, “Tak satu pun.”
Komandan itu meludah. “Fanatisme bodoh. Mereka pikir mereka akan dikenang.”
Letnan itu menunjuk ke dinding yang masih tersisa. Ada ukiran kasar dengan darah dan batu:
“Kami bukan pemberontak. Kami hanya ingin hidup tanpa dijajah.”
Komandan itu tertawa sinis, lalu memerintahkan agar seluruh nama Laskar Kapuran dihapus dari laporan sejarah.
250 tahun kemudian.
Seorang arkeolog muda berdiri di antara reruntuhan bukit batu yang dikenal penduduk lokal sebagai "Watu Kapuran".
Ia menemukan pecahan tembok, dan di antara retakannya, bekas ukiran tua: kalimat nyaris pudar, tapi masih bisa dibaca. Ia mengusapnya perlahan, matanya berair.
"Jadi ini benar-benar ada… bukan hanya dongeng rakyat."
Di tangannya, ia genggam dokumen tua: laporan kolonial yang tak pernah dipublikasikan, berisi satu nama yang dicoret dengan tinta hitam: Reksawira.
Ia menoleh ke tim dokumenter di belakangnya.
“Kita akan hidupkan kembali kisah mereka. Ini sejarah yang mereka coba kubur. Tapi sejarah tidak pernah mati—hanya menunggu ditemukan.”
Dan di bawah matahari yang sama, di tanah yang pernah dibela dengan darah, nama-nama yang nyaris terlupakan pun akhirnya kembali berdiri.