Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lorong 27 Rumah Sakit Umum Nurul Iman selalu sepi menjelang magrib. Suara mesin oksigen, detak monitor jantung, dan aroma disinfektan menjadi lagu harian yang tak pernah berubah. Di kamar paling ujung, seorang pria renta bernama Mbah Jabar berbaring dengan selang di hidung dan tubuh yang tinggal kulit membalut tulang.
Usianya 87 tahun. Mantan marbot masjid, mantan muadzin, mantan banyak hal—semua tinggal kenangan. Tapi satu hal yang tidak pernah menjadi "mantan" baginya: shalat.
Setiap waktu masuk, meski tubuhnya nyaris lumpuh, Mbah Jabar akan meminta tolong pada perawat untuk duduk. Ia tidak bisa rukuk, tidak bisa sujud, tapi lisannya tetap mengucap takbir, dan hatinya tunduk sepenuh langit.
Namun sore itu berbeda.
Azan magrib menggema dari speaker kecil dekat nurse station. Perawat bernama Lila, yang biasanya membantu Mbah Jabar, sedang sibuk menangani pasien kritis di ruang IGD. Tak ada yang masuk ke kamar 27. Tak ada yang mendirikan sajadah. Tak ada yang mengangkat tubuh ringkih itu ke posisi duduk.
Dan Mbah Jabar tahu. Waktu magrib akan segera habis.
Dengan sisa tenaganya, ia berusaha menekan tombol panggil, tapi jari-jarinya gemetar. Tombol itu terasa sejauh langit. Nafasnya sesak. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.
“Astagfirullah…,” gumamnya, lirih.
Langit luar mulai menggelap. Cahaya matahari terakhir masuk lewat celah tirai, menciptakan semburat jingga di lantai keramik. Mbah Jabar menatap langit-langit. Matanya basah.
“Ya Allah… sekali ini saja… izinkan aku bersujud lagi.”
Dan sesuatu terjadi.
Tirai kamar bergerak. Angin masuk. Tapi jendela tertutup.
Seseorang berjalan masuk—tanpa suara. Seorang pemuda. Wajahnya bersih, mengenakan baju putih lusuh dan sarung sederhana. Di pundaknya tergantung sajadah. Di tangan kirinya, sebuah teko kecil. Ia tersenyum kepada Mbah Jabar, lalu berbisik lembut, “Sudah waktunya, Mbah. Ayo, kita wudhu dulu.”
Air dalam teko itu terasa sejuk, menyentuh tangan dan wajah Mbah Jabar seperti embun subuh di desa lamanya. Pemuda itu menuntunnya duduk, menggelar sajadah di lantai putih yang dingin.
"Allahu Akbar," Mbah Jabar tak kuasa menahan tangis. Suaranya menggema seperti gema ribuan muadzin di padang Arafah.
Setelah salam terakhir, Mbah Jabar menoleh. Pemuda itu duduk diam, menatapnya.
"Siapa kamu?" tanya Mbah Jabar, pelan.
Pemuda itu tersenyum, lalu berdiri. “Aku bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang pernah lupa shalat, dan berharap bisa menebusnya dengan menemani seseorang yang tak pernah lupa.”
Kemudian ia melangkah ke arah pintu dan menghilang begitu saja.
Lima menit kemudian, perawat Lila berlari masuk. “Mbah! Maaf, saya telat. Barusan dari IGD—”
Ia terdiam. Mbah Jabar tersenyum dalam diam. Matanya terpejam. Di hadapannya, sajadah terbentang rapi. Tangannya masih berada di pangkuan, seolah baru saja menuntaskan tahiyat akhir.
“Mbah Jabar…” bisik Lila, menggenggam tangan dingin itu.
Dokter datang. Perawat lainnya berdiri dengan khidmat. Tak ada tanda kekerasan. Tak ada penderitaan. Hanya kedamaian yang menguar dari wajah lelaki tua itu.
Di tangan kirinya, tergenggam rapat sebuah batu kecil, hitam mengkilat. Lila mengenal benda itu—batu wudhu dari kampung halaman Mbah Jabar. Katanya, itu ia simpan sejak muda, “untuk wudhu terakhir jika air tak tersedia.”
Dua minggu kemudian, Lila datang ke masjid tua di kampung tempat Mbah Jabar dulu tinggal. Ia ingin mengantar sajadah yang dibawa dari kamar pasien sebagai kenang-kenangan.
Masjid itu sepi. Di pelataran, ia bertemu seorang lelaki tua berjubah cokelat.
“Sajadah siapa itu, Nduk?”
“Mbah Jabar. Beliau wafat di rumah sakit kami. Sajadah ini ditemukan di lantai kamar beliau.”
Orang tua itu menatap sajadah itu dengan air mata menggenang. “Itu sajadah milik anak saya.”
Lila menoleh cepat. “Anak Bapak?”
“Iya. Ia wafat 10 tahun lalu. Kecelakaan sepulang dari masjid. Sejak saat itu, saya simpan sajadahnya di lemari masjid ini.”
Lila membeku. “Tapi… tapi saya melihat seseorang—seorang pemuda—membawa sajadah ini malam Mbah Jabar wafat…”
Orang tua itu menggenggam tangan Lila erat. “Mungkin Allah mengizinkannya kembali… hanya untuk satu shalat.”
Di langit malam yang semakin pekat, sajadah itu digelar kembali. Seorang pemuda dari masa lalu, dan seorang kakek yang wafat dalam sujud. Keduanya kini tersambung dalam misteri kasih Tuhan, yang tak pernah menyia-nyiakan satu rakaat pun yang ditunaikan dengan hati.
Karena sejauh-jauhnya manusia berjalan, selalu ada jalan pulang bagi yang menanti waktu sujud terakhirnya.